Suatu hari Prof. Ibrahim Ar-Ruhaily hafidzahullah mengisahkan pada kami bahwa, "Dulu kami duduk dimajelisnya Syaikh Muhammad Al Amin As Syinqity dan Masyaikh lainnya. Diantara mereka kadang terjadi khilaf dalam beberapa masaalah juz'iyyah, namun kasih sayang tetap terjalin diantara mereka. Kami bahkan tidak pernah bertanya pada sesama kami, "anta ma'a man...? Anta tuayyidu man..?" (Engkau dengan siapa..?, engkau mendukung pendapat siapa..?)
Kami juga tidak saling membenturkan pendapat yg
satu dengan pendapat lainnya. Berbeda kondisinya dengan apa yg terjadi saat
ini".
Sungguh benar apa yg dikatakan Syekh...
Kondisinya hari ini amat berbeda..
Hari ini... Bahkan sebelum berdiri meninggalkan majelis, sebagian penuntut ilmu sudah saling membenturkan pendapat guru yang satu dengan guru lainnya. Padahal perbedaan itu timbul karena kesalahan mereka dalam menyimpulkan pendapat keduanya.
Atau sang guru sedang berbicara dengan perkataan umum, namun sebagian kita menyimpulkannya dengan makna khusus, "maksudkan guru fulan adalah ini dan itu"
Parahnya lagi, pendapat guru yg dianggap paling kuat, berubah layaknya nash yg tidak boleh ditolak.
Menolaknya sama dengan menolak wahyu. Wala dan baro'pun dibangun di atas pandangan individu-individu tertentu. Sampai-sampai orang yg tidak kenal atau atau sefaham dengan individu-individu itu dianggap tidak layak menisbatkan diri pada Salaf dan Ahlussunnah.
Berlakulah qaidah:
Sungguh benar apa yg dikatakan Syekh...
Kondisinya hari ini amat berbeda..
Hari ini... Bahkan sebelum berdiri meninggalkan majelis, sebagian penuntut ilmu sudah saling membenturkan pendapat guru yang satu dengan guru lainnya. Padahal perbedaan itu timbul karena kesalahan mereka dalam menyimpulkan pendapat keduanya.
Atau sang guru sedang berbicara dengan perkataan umum, namun sebagian kita menyimpulkannya dengan makna khusus, "maksudkan guru fulan adalah ini dan itu"
Parahnya lagi, pendapat guru yg dianggap paling kuat, berubah layaknya nash yg tidak boleh ditolak.
Menolaknya sama dengan menolak wahyu. Wala dan baro'pun dibangun di atas pandangan individu-individu tertentu. Sampai-sampai orang yg tidak kenal atau atau sefaham dengan individu-individu itu dianggap tidak layak menisbatkan diri pada Salaf dan Ahlussunnah.
Berlakulah qaidah:
"إما لنا أو علينا"
"Bersama kami atau menjadi musuh kami"
Dan Dakwahpun berduka..,
Tak sedikit ulama yg jatuh berguguran karena tikaman pedang Jarh.
Nasehat dan kritikan tulus dari Mufti kerajaan tetangga dibalas dengan tikaman Jarh yg membabi-buta.
Guru dan murid saling melukai dengan pedang yang sama.
Banyak Da'i tak lolos "sertifikasi".
Sebagian yayasan dakwah salafiyah tak berhasil mendapat "akreditasi" S (Salafiyah). Kebanyakan hanya terakreditasi H (Hizbiyah).
Bahkan Tak ada amnesti bagi da'i yang rujuk dari kesalahannya.
Radio dan TV Dakwah yang siang malam mengenalkan umat pada sunnah diseantero negeri di tanah seberang pun tak selamat. Dalam titahnya sang Prabu berkata, "Barang siapa yg masih sayang terhadap aqidah dan manhajnya maka jangan mendengarkan Radio fulan"
Umat dibuat bingung.
Sementara ahlul bid'ah bertepuk tangan ria diiringi senyum kemenangan.
Tapi Alhamdulillah...
Semua perlahan mulai membaik...
Meskipun efek dari luka jarh itu masih terasa perih, namun tidak membuat usaha dakwah terhenti.
Para da'I tetap bekerja dengan tulus (insyaallah).
Bahkan yg terluka parah sekalipun Alhamdulillah masih tetap eksis dan terus berkarya.
Semoga Allah senantiasa merahmati mereka yang selalu berkarya nyata ditengah sebagian orang yg sibuk berkarya kata, yang terus membangun ditengah orang yang selalu meruntuhkan.
بكيت على زمان... جرح فيه الكبار، و شيخ فيه الصغار..
Madinah, Kamis 19 Dzulhijjah 1434 H.
0 Kommentare:
Kommentar veröffentlichen