Donnerstag, 26. Dezember 2013

RENUNGAN BAGI PENUNTUT ILMU

Syaikh Al-Musnid Shaleh Bin Hamd Al Ushoimy –hafidzahullah- berkata:


 Di dalam Al-Qur'anAllah azza wa jalla berfirman:
 
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَـتِي الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ


Artinya:

 "Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang menyombongkan dirinya dimuka bumi tanpa alasan yang benar.." (Al A'raf: 146)


Tentang tafsiran ayat ini Imam Sufyan As Tsauri –rahimahullah- berkata: " Aku akan palingkan mereka dari memahami Al- Qur'an". Al-Firyaby –rahimahullah- mengatakan: "Aku akan menghalangi hati mereka dari mentadabburi urusan-Ku", maksudnya Al-Qur'an.Berkenaan dengan masaalah ini, Imam Ibnu Katsier menjelaskan bahwa balasan (Allah) pada mereka sesuai dengan dosa yang mereka lakukan. Beliau -rahimahullah- mengatakan: 

"Sebagaimana mereka menyombongkan diri tanpa alasan yang benar, maka Allahpun menghinakan mereka".

Bila Allah azza wa jalla memalingkan hati seorang hamba dari memahami dan mentadaabburi Al-Qur'an, maka dia tidak akan bisa memanfaatkan kekuatan hafalan, bagusnya pengucapannya (terhadap ayat-ayat al-qur'an), baiknya pemahaman serta kuatnya keinginannya (terhadap Al-Qur'an). Dia tak dapat mengambil manfaat dari semua itu. Namun tidak berarti bahwa kesombongan menghalanginya dari menghafal Al-Qur'an. Bahkan diantara penghafal lafadz-lafadz Al-Qur'an ada orang yang sombong.  Maka  yang dimaksudkaan oleh ayat ini adalah, " Allah menutup hati mereka dari memahami al-Qur'an dan mengamalkan isinya".

Di dalam kitab Al-Madkhal Imam Ibnul Haaj Al Maliky –rahimahullah- berkata: "Sebagaimana telah diketahui bahwa sebagian orang yang sombong  hafal al-qur'an dan ilmu, akan tetapi mereka terhalangi dari mendapatkan manfaat berupa pemahaman dan pengamalan 9terhadap isi kandungan) Al-Qur'an. Padahal (pemahaman dan amalan) itulah yang menjadi prioritas. (Bila demikian keadaannya pen.) maka orang-orang awam jauh lebih baik dari mereka"

Jadi siapa saja yang hanya menghafal lafadz-lafadz Al-Qur'an dan (hanya sibuk pen.) memperbaiki bacaan namun tidak mengamalkannya, maka orang awam jauh lebih baik darinya. Inilah maksud dari dipalingkannya hati dari ayat-ayat-Nya. Dia dipalingkan dari  memahami serta mengamalkannya, bukan dari memperbaiki bacaannya. Boleh jadi ada diantara manusia orang yang bacaannya baik terhadap al-quran ataupun terhadap selain Al-Qur'an, akan tetapi keadaannya jika dibandingkan dengan keadaan ahlul qur'an dan ilmu sangat jauh sekali. Semua kembali pada baiknya hati  yang dipakai untuk menghafal al-qur'an dan ilmu yang disertai pemahaman dan tadabbur.

Dan siapa saja yang mencermati keadaan orang-orang yang berilmu dari kalangan ulama, maka dia akan mendapati bahwa apa yang mengalir dari lisan mereka serta yang digoreskan oeh pena-pena mereka berupa karuni Allah, semua itu mereka dapatkan karena ketaan mereka kepada Allah. Orang-orang yang memperhatikan hubungan mereka dengan Allah baik dalam hal tetundukan, cinta, kedekatan dan penghabaan akan mendapati bahwa jalan terbaik untuk mendapatka ilmu adalah menggantungkan hati kepada Allah azza wa jalla serta melepaskan diri dari segala faktor yang dapat memalingkan diri dari-nya.

Orang yang hanya mengandalkan kemampuan dirinya, baik dari segi pemahaman dan hafalan tanpa kembali kepada Allah dan melakukan ketaan pada-Nya, mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka cita-citakan berupa ilmu yang disertai pemahaman dan pengamalan. Mereka akan dihalangi darinya karena hati mereka berpaling dari Allah azza wa Jalla serta menyibukkan diri dengan selain-Nya.

Kebanyakan para penuntut ilmu menyibukkan diri dengan cara-cara yang sifatnya dzahir dalam menuntut ilmu, seperti menghafal mutun, menghadiri majelis para masyaikh, namun lalai dari penyereahan penuh dalam ketaatan kepada Allah dan bergantung pada-Nya, mengembalikan segala urusan pada-Nya dengan tadharru', berdo'a, meminta dan berdzikir (mengingat-Nya). Krena ilmu adalah rezeki, sementara rezeki berada ditangan Ar-Razzak (pemberi rezeki). Maka siapa saja yang tunduk dan taat kepada-Nya, memperbaiki perbuatannya disisi Allah, maka Allah adalah sebaik-baik Pemberi. Dia akan memberikan serta membukakan untuk hamba-Nya kemampuan  yang tidak dimiliki oleh rekan-rekannya sebagai bentuk kasih sayang Allah kepadanya.

Wahai penuntut ilmu… berhati-hatilah…. Jangan sampai engkau tertipu dengan bagusnya hafalanmu, kuatnya pemahamanmu serta semangatmu untuk duduk dan hadir di majelis ilmu, atau  perkenalanmu dengan banyak masyaikh. Semua itu tidak akan memberimu manfaat jika hatimu lalai dari mengingat Allah

Ketahuilah…  Sesuai dengan kadar ketaatanmu kepada Allah, baiknya amalan dan baiknya kondisi dirimu disi-Nya, (sesuai kadar  itulah pen.) Dia akan mengajarimu apa yang tidak engkau ketahui, membukakan untukmu pintu-pintu pemahaman yang tidak dibukakan untuk orang selainmu. Semua murni karena Rahmat-Nya. Kenalilah jalan menuju ilmu, peganglah dengan kuat, dan telusurilah jalan-jalan itu.

Faidah dari dauroh Muhimmaatul Ilmi tahun pertama di Masjid Nabawi  tangga 29 Shafar 1431 H


Ditahun selanjutnya Kamis 30 Shafar 1432 H disela-sela penjelasan terhadap ayat yang sama beliau menambahkan: 
"Banyaknya hafalan serta faktor  penunjang ilmu lainnya yang sifatnya dzahir tidak akan berarti bagi seorang hama. Sebab manausia kemampuan bertingkat-tingkat dari segi pemahaman. Dan pada dasarnya ilmu adalah pemahaman, adapun hafalan hanya sebagai alat untuk menghasilkan ilmu. Pada hadits Ibnu Mas'ud  yang terdapat dalam shahihain Rasulullah shallallahu alaihi wasllam bersabda:  

"Atau pemahan  yang diberikan Allah kepada seseorang terhadap Al –qur'an"

(Dalam hadits ini pen) Rasulullah tidak menyebut hafalan. Karena dari segi hafalan manusia (memiliki kemampuan yang) sama, baik dia orang munafik ataupun orang kafir. Para ahli dari kalangan orientalis ada yang hafal isi al-Qur'an seluruhnya. Bisa jadi agamnya yahudi ataupun nasrani. Maka yang dimaksud dari "dipalingkan" pada firmannya "Aku akan memalingkan"  adalah dipalingkannya hati dari memahami al-qur'an dan mengamalkana isi kandungannya.

Wallahu a'lam

Madinah, 22 Shafar 1435 H

Mittwoch, 25. Dezember 2013

Pelajaran Hidup

Dari keseluruhan pelajaran hidup,  barangkali yang paling sulit adalah belajar mengenal diri sendiri secara jujur. Karena sering kali kesibukan kita dengan berbagai urusan membuat kita kita lupa untuk mengenal lebih jauh siapa diri kita.

            Padahal, mengenal diri sendiri  berarti mengerti dengan baik kelebihan dan kekurangan  diri. Lalu dengan pengenalan itulah kita mencari jalan mana yang bisa memaksimalkan aspek positif kita dan jalan mana yang bisa meminimalisir keburukan kita.



            Pengenalan yang baik terhadap diri akan membuat kita mengerti titik start yang pas bagi langkah awal untuk menjadi sesuatu, lalu kemana langkah itu kelak diakhiri.
Pengenalan terhadap diri juga kan membuat kita dengan mudah menekan ego ke-akuan yang selalu saja membuat  jiwa merontak karena merasa  lebih dari orang lain.
Ungkapan "semoga Allah merahmati orang  yang  mengetahui  kemampuan dirinya sendiri" setidaknya menggambarkan betapa  pentingnya seseorang  tahu dan mengerti siapa dirinya dan seberapa besar potensi yang dia miliki.


        Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: 


"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia". 

        Hadits di atas setidaknya memberikan  penegasan pada kita, bahwa nilai-nilai estetis dan keluhuran adalah salah satu cabang penting dari misi kenabian. Tak berlebihan bila beliau shallahu alaihi wasalam memberi janji,"orang yang paling dekat kedudukannya dengan aku disurga nanti  adalah yang paling baik akhlaknya."
 

         Logikanya, bila fiqih memberi batasan legalitas, maka akhlak dan moralitas memberi bobot yang luar biasa pada seni keindahan dalam hidup. Tak hanya sekedar batasan wajib yang sah dan legal, tapi ada pesona sunnah yang mempercantik dan membuatnya lebih berwarna. Seperti itulah ajaran agama yang hanif ini. Dan seperti  itu pula pilihan hidup ini.
 


        Jika barat meng berkoar-koar mengkampanyekan HAK ASASI MANUSIA dalam definisi yang memiliki standar ganda, maka islam pada  14  abad silam telah mendeklarasikannya sebagai  dustur  kehidupan.  Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda :

" Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling mengintip rahasia, saling bersaing (pada hal-hal yang negatif), saling mencari keburukan, saling menawar lebih tinggi sehingga menipu pembeli agar membayar lebih tinggi, saling memutuskan hubungan, saling bermusuhan, dan janganlah sebagian kalian menjual di atas penawaran orang lain. Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang di perintahkan Allah kepadamu. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menganiayanya, tidak boleh menelantarkannya dan tidak boleh menghinanya. Takwa itu ada di sini, takwa itu ada di sini, takwa itu ada disini kata Rasulullah Shallahu alaihi wasallam sambil menunjuk dadanya. Cukuplah merupakan keburukan bagi seseorang apabila ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lainnya adalah haram darahnya, kehormatannya dan hartanya (untuk di rusak dan ditumpahkan). Jauhilah prasangka buruk karna sesungguhnya prasangka buruk adalah sedusta-dustanya pembicaraan.  Dan esungguhnya Allah tidak melihatmu pada bentuk rupa dan hartamu, tetapi Dia melihat hati dan perbuatanmu." 

                                        (HR.Bukhari, Muslim)

            Jangankan  untuk menyakiti dalam bentuk fisik, ajaran islam yang paripurna bahkan telah mengajarkan  ummatnya  untuk tidak menjadi penyebab hidup orang lain pahit dan getir. Keparipunaannya telah merubah serangkai senyum yang tadinya biasa menjadi amalan yang istimewa dan bernilain sedekah, "Senyummu terhadap saudaramu adalah sedekah", "Janganlah engkau meremehkan perbuatan yang baik, walaupun hanya dengan menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri". 

            Semua itu adalah aturan hidup yang tidak saja sebagai aturan konsistensi semata, tapi juga sebentuk seni yang memperindah kehidupan dalam merajut kebersamaan dengan pengharapan penuh akan pahala disisi Allah Azza wa Jalla.
 

           Memang, terkadang sulit mewujudkan semua itu, sebab diujung perjuangan kita untuk 

merealisasikannya ada ujian yang paling besar, yaitu : "DIRI KITA SENDIRI"



Madinah dipenghujung senja, Rabu 22 shafar 1435 - 25 Desember 2013 M

Sonntag, 22. Dezember 2013

HUKUM MEMBERI TAHNI'AH (ucapan selamat) DAN TURUT SERTA DALAM MERAYAKAN HARI-HARI BESAR NON MUSLIM

Bismillahirrahmaanirrahiim..

Segala puji hanyalah Milik Allah azza wa jalla. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas junjungan kita Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Diantara bentuk kasih sayang Allah kepada kaum muslimin, Dia telah menjadikan mereka sebagai umat terbaik dan pilihan.


Allah azza wa jalla berfirman:


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ 
  الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran:110)


Allah azza wa jalla bahkan tidak menerima agama selain Islam
Allah berfirman:


وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Dia juga mengabarkan pada kita tentang ketidaksukaan musuh-musuh-Nya terhadap agama-Nya yang hanif.

Allah berfirman:


وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ


"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu" (QS: Al Baqarah:120)

Sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghadap kehadhirat Allah. Dia telah menyempurnakan agama-Nya. Hingga tak ada jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba menuju surga melainkan Allah telah diwahyukan kepada nabi-Nya. Dan tak ada satupun jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba menuju neraka, melainkan Allah telah mewayuhkan kepada nabi-Nya. Deklarasi kemerdekaan aqidah dan kesempurnaan agama itu disaksikan ratusan ribu pasang mata di hari yang mulia, dibulan yang mulia dan ditempat yang mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا


“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu,dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …”(QS: Al-Maa-idah: 3)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- menjelaskan,

“Ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar yang dikaruniakan kepada umat ini, Diaman Dia telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada perkara yang halal kecuali apa yang telah dihalalkannya, tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang telah diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali apa yang disyari’atkannya. (Tafsir Ibnu Katsier Jilid; 2 hal 19-20)
Imam Malik –rahimahullah- mengatakan: 
"Barangsiapa yang melakukan satu bid'ah dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, maka sungguh dia telah menuduh Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena aAllah berfirman, ” …..Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian…..” Maka apa saja yang bukan menjadi bagaian dari agama dizaman itu, maka pada hari ini tidak akan menjadi bagian dari agama. (Ilmu Ushul Bida hal.20)
Beberapa hari yang lalu seorang ikhwah meminta kami untuk menuliskan artikel yang membahas secara ringkas seputar "Hukum memberi ucapan tahni'ah (selamat) dan ikut serta dalam perayaan hari-hari besar non muslim".

Tulisan ini sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Juga sebagai bahan bahan murajaah untuk semua, mengingat sudah banyak ikhwan muwaffaqiin telah mengulas tema yang sama.
Hanya saja dalam tulisan kali ini ada beberapa poin yang akan kami ulas secara rinci, diantaranya:


  1. Pengertian Tahni'ah
  2. Madzhab Salaf dan Ulama dari berbagai Madzhab Seputar Hukum Mengucapkan Tahni'ah (Selamat Hari Raya) Dan Turut Serta Dalam Perayan Hari-Hari Besar Non Muslim 
  3. Fatwa-Fatwa Kontemporer 
  4. Kesimpulan
  5.  
1. Pengertian Tahniah dan Ied (hari raya) Menurut Bahasa dan Istilah

Ahli bahasa sepakat bahwa tahniah merupakan antonim dari kata ta'ziyah (lihat Lisaanul Arab jilid: 15 hal: 142. Syaikh Al Bujairamy mengatakan: Tahni'ah merupakan lawan dari ta'ziah. Kata ini merupakan ungkapan yang mengandung doa karena bahagia. Sedangkan ta'ziah adalah ungkapan duka yang disertai do'a dan ajakan untuk bersabar.

Ibnul Haaj Al Maaliki rahimahullah mengatakan: "Sudah merupakan kebiasaan (masyarakat) bahwa ungkapan ini diucapakan pada orang yang kita kenal dan biasa bergaul dengan kita. Berbeda dengan ucapan salam yang disyariatkan untuk diucapkan pada orang yang kita kenal atau tidak dari kalangan kaum muslimin".

Adapun Ied atau hari raya secara bahasa bermakna sesuatu yang sering terulang. Ibnu Manzhur rahimahullah mengatakan: 
"Ied dalam bahasa arab adalah waktu yang didalamnya selalu berulang rasa bahagia dan sedih" (lihat Lisaanul Arab jilid: 3 hal: 139)
Sedangkan menurut istilah:
"segala bentuk pertemuan tahunan yang dibuat manusia diwaktu-waktu tertentu, ditempat tertentu atau dalam waktu dan tempat yang bersamaan, hal tersebut disebut ied" (Lihat: Al A'yaad hal: 22)
2. Madzhab Salaf Serta Pandangan Ulama dari Berbagai Madzhab Seputar Hukum Mengucapkan Selamat Hari Raya Dan Turut Serta Dalam Perayan Hari-Hari Besar Non Muslim .

Sebagian orang menganggap bahwa permasaalahan ini merupakan permasalahan baru yang sama sekali belum dibahas oleh para ulama dari setiap madzhab yang ada, lebih khusus lagi ulama mazhab yang empat. Sebagian lagi menyangka bahwa fatwa haramnya mengucapakan tahni'ah serta ikut berpartisipasi dalam perayaan hari-hari besar non muslim murni produk pemikiran salafi wahabi yang selalu bersikap kaku dalam memahami dalil serta menutup mata terhadap realitas umat.

Padahal, jika kita mau meluangkan sedikit saja waktu untuk menelaah literatur yang ada, tentu kita akan menemukan bahwa permasaalah ini bukan permasaalahan baru. Salafi Wahabi tidak sendiri dalam masaalah ini. Para ulama sebelum Syaikh Utsaimin dan Syaikh Bin Baz dan jauh sebelum Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim -rahimahumullah- dari Kalangan salaf maupun khalaf telah lebih dahulu membahas dan menyimpulkan hukum yang berkenanan dengan masaalah ini berdasarkan qaidah istinbath yang telah disepakati bersama. Lebih jauh lagi sahabat Umar –radhiallahu anhu- menegaskan pada kaum muslimin dizamannya untuk menjauhi orang-orang kafir pada hari-hari besar mereka. Al Ashbahani meriwayatkan dari Atho' bin Dinar bahwasanya Umar radhiallahu anhu berkata:
" Janganlah kalian mempelajari dialek asing dan jangan pula kalian ikut masuk bersama kaum musyrikin kedalam gereja-gereja mereka pada hari raya mereka, karena kemurkaan Allah sedang turun atas mereka" (Sunan Al Kubra: 9/234, Mushannaf Abdurrazaaq: 1/411 no.1609)
Dalam riwayat As Taury dari Abul Walid bahwasanya Abdullah bin Amr –radhiallahu anhuma- berkata: "Barangsiapa yang tinggal dinegeri orang ajam (non muslim) lalu turut merayakan hari raya Nairuz dan mahrajan bersama mereka, juga turut menyerupai mereka, kemudian dia mati dalam keadaan demikian, maka kelak pada hari kiamat dia akan dibangkitakan bersama mereka" (lihat Sunan Al Kubro jilid: 9/243)

Umar radhiallahu anhu juga pernah mengatakan: 
"Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari raya mereka" (Sunan Al Kubro: 1/297, Kanz Ummaal: 1/405 no.1732)

Perhatikan bagaimana sikap seorang Umar, beliau melarang keras keikutsertaan kaum muslimin dalam perayaan orang-orang kafir. Beliau tak sekedar melarang, tapi menyuruh kaum muslimin untuk menjauhi perayaan-perayaan tersebut. dan kita tahu bersama bahwa kata Ijtanibuu" (jauhialah) dalam bahasa arab mengandung larangan untuk bertemu atau mendekati segala celah yang dapat mengantarkan pada pertemuan tersebut. Bila bertemu saja dilarang, maka bagaimana lagi dengan ikut berpartisipasi serta memberi ucapan tahni'ah pada hari itu…? Tentu lebih dilarang lagi. Kita juga melihat bagaimana Abdullah bin Amr -radiallahu anhuma- menghukumi orang yang turut serta dalam perayaan itu kedalam golongan orang-orang kafir. 

Sebenarnya cukup banyak atsar dari salafusshooleh yang melarang keikutsertaan kaum muslimin dalam perayaan hari-hari besar non muslim, sehingga kita tidak memerlukan fatwa baru untuk dijadikan sebagai alasan pembolehan lalu membatalkan apa yang telah disepakati para ulama terdahulu.

Berikut kami nukilkan pandangan Ulama dari berbagai Madzhab yang ada.

A. Pandangan Ulama Hanafiyah 

Imam Abu Hafs Al Kabiir mengatakan, "Apabila seorang hamba menyembah Allah selama 50 tahun. Kemudian datanglah perayaan Nairuz, orang itupun menghadiahkan telur kepada sebagian kaum musyrikin sebagai bentuk pengagungan terhadap hari tersebut, maka dia telah kafir dan terhapuslah semua amalnya. Pemilik buku Jaami' Al Ashghar menyebutkan, "Jika seseorang menghadiahkan sesuatu pada muslim yang lain di hari Nairuz tanpa bermaksud mengagungkan hari itu, tapi karena terbawa kebiasaan manusia, maka hal ini tidak membuat pelakunya kafir, hanya saja tidak selayaknya dia melakukan perbuatan tersebut dihari itu, baik sebelum atau sesudahnya. Yang demikian agar dia terhindar dari menyerupai mereka (orang-orang kafir pent.) pada apa yang menjadi kekhususan kaum tersebut. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

"Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari kaum itu".

Di dalam Jaami' al ashgar juga disebutkan, 
"Apabila seseorang membeli sesuatu yang biasa dibeli orang-orang kafir pada hari Nairuz, padahal sebelumnya dia tidak pernah membeli barang tersebut. Jika dia membelinya sebagai bentuk pengagungan terhadap hari tersebut sebagaimana orang-orang musyrik mengagungkan hari itu, maka dia telah kafir. Namun jika dia membelinya untuk kebutuhan makan dan minum, maka dia tidak divonis kafir.(lihat: Al bahrur Raaiq Syarh kanzuddaqaaiq jilid 8/555)
B. Pandangan Ulama Malikiyah

Imam Ibnul Qosim –rahimahullah- yang merupakan murid Imam Malik bin Anas –rahimahullah- ditanya tentang hukum menaiki kapal dimana di dalamnya terdapat orang-orang nashrani yang akan berlayar untuk merayakan hari besar mereka. Ibnul Qosim mengharamkan hal tersebut, sebab dikwatirkan apabila adzab Allah turun atas mereka, dikarenakan kekufuran yang menjadi alasan perkumbulan itu.

Ibnul Haj al Maaliki –rahimahullah- juga menyebutkan bahwa Ibnul Qosim –rahimahullah- mengharamkan seorang muslim memberi hadiah pada orang nasrani pada hari rayanya. Dia menilai bahwa hal tersebut termasuk bentuk pengagungan terhadap hari rayanya dan juga sebagai bantuan atas kekufurannya. Bahkan tidak diperbolehkan bagi seorang muslim menjual kepada orang nashrani segala sesuatu yang diperlukan untuk hari raya mereka, baik itu daging, lauk dan pakaian. Mereka (orang-orang islam) juga tidak boleh meminjamkan tunggangannya atau apa saja (pada urusan) yang memiliki sangkut paut dengan agama mereka. Karena hal tersebut merupakan bentuk pengagungan terhadap kesyirikan serta bentuk tolong menolong terhadap kekufuran mereka. Pemerintah seharusnya mencegah kaum muslimin dari hal tersebut. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan aku tidak mengetahui bahwa ada yang menyelisihnya dalam masaalah ini.

Ibnul Haj melanjutkan, "Dan dilarang menyerupai mereka sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ini berdasarkan apa yang termaktub dalam hadits, "Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari kaum itu". Maknanya adalah, pelarangan terhadap kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dengan orang kafir pada apa yang menjadi kekhususan mereka.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang sangat membenci terjadinya sinkronisasi kaum muslimin dengan ahli kitab dari segala sisi. Sampai-sampai orang yahudi berkata: Sesungguhnya Muhammad tidak meninggalkan sesuatu dari urusan kita melainkan dia telah menyelisihi kita dalam urusan itu. Maka orang-orang (yg turut membantu dan merayakan hari besar kuffar) telah mengumpulkan Antara tasyabbuh dengan orang-orang kafir -sebagaimana yang telah dijelaskan- dan juga ikut membantu kekufuran mereka. 

Yang demikian itu akan semakin menambah kekufuran mereka, tatkala mereka melihat kaum muslimin turut menyesuaikan diri dengan mereka atau memberi bantuan terhadap mereka (pada hari itu). Hal itu juga akan menjadi sebab mereka bangga diri dengan agama yang dianutnya. Mereka merasa berada diatas kebenaran. Dan ini sering terjadi diantara mereka. (Yaitu saling memberi hadiah) Sampai-sampai sebagian ahlul kitab memberi hadiah kepada orang-orang yang memiliki jabatan dari kalangan kaum muslimin di hari-hari besar mereka. Pejabat-pejabat muslim itupun menerimanya, mereka bahkan berterimah kasih lalu membalas hadiah tersebut. Kebanyak ahli kitab merasa semakin mantap dengan agamanya, senang dengan penerimaan kaum muslimin terhadap hadiah tersebut, hal itu karena (pejabat-pejabat) itu adalah orang penting. Mereka mengira bahwa orang-orang yang menduduki jabatan duniawi dari kalangan kaum muslimin adalah orang yang berilmu hingga dijadikan rujukan dalam agama. Racun ini pun menyebar pada masayarakat muslim yang awam, akhirnya mereka ikut diperdaya, mereka (orang awam) turut mengangungkan hari-hari besar ahli kitab dan menyisihkan dana untuk perayaan itu.

(lihat Al Madkhal: Juz 2 Hal :46-48)

C. Pandangan Ulama Syafi'iyah

Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy -rahimahullah- mengatakan: ”Diantara seburuk, buruknya bid'ah adalah ikut sertanya kaum muslimin dalam perayaan hari besar mereka (non muslim). Baik ikut-ikutan dalam hal makanan, memberi hadiah dan menerima hadiah dari mereka dihari tersebut. Dan yang paling banyak memberikan perhatian terhadap (perayaan itu) adalah orang-orang Mesir. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yanag meniru-niru suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum itu"

(Fataawa Al- fiqhiyah kubra juz 4 hal : 238)

Imam Ad Damiry mengatakan: Wajib (bagi pemerintah) untuk memberikan hukuman ta'zir terhadap orang yang mengikuti orang-orang kafir dalam perayaan mereka. Dia juga mengatakan: "Begitu juga dengan orang yang turut memberi ucapan tahni'ah kepada mereka". (An Najmul Wahhaj jilid 9: hal: 244. Lihat juga fatwa Al Khatiib as Sarbiny dalam Mughnil Muhtaj jilid 4: hal : 191)


D. Pandangan Ulama Hanabilah

Imam Al Bahuty –rahimahullah- mengatakan: "Diharamkan mengucapkan tahni'ah (ucapan selamat), Ta'ziyah (ucaan belasungkawa), ataupun menjenguk mereka saat sakit. Karena hal tersebut termasuk bentuk pengagungan terhadap mereka. Namun dibolehkan untuk menjenguk kafir dzimmi jika diharapkan keislamannya. Inilah pendapat yang dipilih oleh as-Syaikh (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-). Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik -radhiallahu anhu- bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah menjenguk seorang yahudi, lalu beliau –shllallahu alaihi wasallam- menawari yahudi tersebut untuk memeluk islam, diapun akhirnya memeluk islam. 
Rasul bersabda: 
"Mahasuci Allah yang telah menyelamatkan orang tersebut dari api neraka melalui aku." HR Bukhori. 

Persoalan ini lebih pada mekanisme penerapan akhlakul kariimah.

As Syaikh (Ibnu Taimiyah) berkata: 
"Diharamkan menghadiri perayaan hari-hari besar Yahudi, Nasrani dan perayaan lainnya dari kalangan orang kafir. Sebagaimana diharamkan juga menjual sesuatu kepada mereka dihari itu". 
Di dalam kitab Al muntaha disebutkan bahwa, 
"Tidak ada jual beli Antara kita dan mereka pada hari itu, tidak juga saling bertukar hadiah. Karena di dalamnya ada unsur pengagungan terhadap mereka. Pelarangan ini hukumnya sama dengan pelarang memulai mereka dengan salam"

Diharamkan jual beli atau menyewakan sesuatu yang akan dipakai untuk membangun gereja, patung, berhala dan lain sebagainya seperti salib, karena perbuatan tersebut termasuk menolong mereka dalam kekufuran. Allah berfirman. : 
"Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan".

Diharamkan bagi kaum muslimin mengikuti segala sesuatu yang menjadi kekhususan mereka seperti Hari raya mereka, karena (keikutsertaan) merupakan bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan mereka. Sementara tasyabbuh dengan orang-orang kafir dilarang berdasarkan konsensus para ulama serta hadits yang ada. Wajib (bagi pemerintahh) untuk menjatuhkan hukuman bagi pelakunya.

(Kasyful Qannaa' Jilid 3 hal: 131)

Syaikh Ali Mahfudz Al Azhary mengatakan:


Diantara musibah yang menimpa kaum muslimin baik kalangan awam maupun kalangan khusus adalah ikut sertanya kaum muslimin pada perayaan hari-hari besar mereka (ahli kitab) baik yahudi maupun nasrani, serta menganggap baik perayaan hari besar mereka. Padahal Rasulullah shallahu alaihi wasallam sangat membenci terjadinya sinkronisasi dengan ahli kitab dari segala sisi. Sampai-sampai orang yahudi berkata: Sesungguhnya Muhammad tidak meninggalkan sesuatu dari urusan kami melainkan dia menyelisihi kami dalam urusan itu.

Bandingkan sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan realita yang terjadi pada manusia hari ini, dimana mereka turut serta dalam perayaan dan kebiasaan ahli kitab. Engkau dapati pada har-hari besar itu kaum muslimin meninggalkan pekerjaan mereka dipabrik-pabrik atau meninggalkan perdagangannya serta (meliburkan) aktivitas menuntut ilmu. Mereka menjadikan hari-hari itu sebagai hari untuk bergembira dan rehat. Mereka memanjakkan keluarga, memakai baju baru, menghiasi telur untuk anak-anak sebagaimana yang dilakukan oleh ahli kitab dari kalangan yahudi dan nashrani. Hal ini dan yang semisalnya merupakan bukti kebenaran sabda Rasulullah shallahu alaihi wasallam dalam hadits shohih;
"Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga apabila mereka masuk kedalam lubang dhab, kalian juga akan mengikutinya. Kami berkata: Ya Rasullah, Apakah mereka orang-orang yahudi dan nasrani, Rasul bersabda, "siapa lagi kalau bukan mereka..? (HR. Bukhori dari Abi said Al Khudry radhiallahu anhu).

Oleh karenanya, bagi siapa saja yang menginginkan keselamatan terhadap agama dan kehormatannya. Maka hendaklah dia tetap berada dirumahnya dan melarang anak-anak serta keluarganya atau siapa saja yang berada dibawah tanggungannya untuk keluar pada hari itu. Juga mencegah mereka agar tidak ikut serta dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani pada kegiatan mereka serta kegiatan orang-orang fasiq ditempat-tempat mereka"

(Dikutip secara ringkas dari : Al Ibdaa' fi madhaaril ibtidaa' halaman 274-276)


Setelah membaca pendapat Ulama dari berbagai madzhab diatas, tentunya kita tak perlu heran jika Syaikh Utsaimin dan sebelumnya Imam Ibnul Qoyyim al Jauziyah –rahimahumallah- menukilkan kesepakatan para ulama para ulama tentang haramnya mengucapkan tahni'an dihari-hari besar non muslim. Imam Ibnul Qoyyib berkata:
”Adapun mengucapkan tahni'ah berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar dan puasa mereka, sembari mengucapkan,’Semoga Hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, namun dia tidak akan lolos dari perbuata yang diharamkan. Ucapan semacam ini sama saja dengan ucapan tahni'ah atas sujudnya dia terhadap Salib. Bahkan dosanya lebih besar dari itu di sisi Allah. Perbuatan itu lebih dimurkai dibanding memberikan selamat atas meminum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang sedikitpun tidak tersisa kadar keimanannya terjatuh dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. (Ahkaam Ahl dzimmah: jilid: 1 halaman 441-442)

Ditambah lagi Imam Ibnul Qosim –rahimahullah- telah menyebutkan bahwa dia tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi imam malik dalam masaalah pelarangan ini.

3.Fatwa-Fatwa Kontemporer

Fatwa Lajnah Daimah lil Buhutsi wal Ifta' (Komisi Riset dan Fatwa  Kerajaan Saudi Arabia) tentang Ucapan Selamat Natal

Pertanyaan :

Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kristen pada hari-hari besar mereka, karena paman saya mempunyai tetangga yang beragama Kristen. Dia (paman) mengucapkan selamat kepadanya di hari besar itu. Dan dia juga mengucapkan selamat kepada paman saya pada momen bahagia atau hari-hari besar dan setiap ada kesempatan. Apakah hal ini boleh, muslim mengucapkan selamat kepada orang kristen dan orang kristen mengucapkan selamat kepada muslim pada hari-hari besar dan momen-momen bahagia? Berilah fatwa kepada saya semoga Allah Subhanahuwata’alla membalas kebaikan anda semua.

Jawaban :

Tidak boleh bagi seorang muslim mengucapkan selamat kepada orang kristen pada hari‐hari besar mereka, karena hal itu termasuk tolong menolong terhadap perbuatan dosa dan kita dilarang melakukan hal itu. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya) : "Dan tolong‐menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong‐menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa‐Nya." (QS. al‐Maidah:2)

Sebagaimana pada hal itu (ucapan tahni'ah) menunjukkan adanya rasa cinta terhadap mereka dan mengharapkan cinta mereka serta pernyataan ridha (senang) terhadap mereka dan terhadap syi'ar agama mereka, dan ini hukumnya tidak boleh. Bahkan yang wajib adalah menampakkan permusuhan dan menyatakan kebencian kepada mereka, karena mereka menentang Allah Subhanahuwata’alla dan menyekutukan Dia dengan yang lain, serta menjadikan bagi‐Nya istri dan anak. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala (yang artinya) :

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang‐orang yang menentang Allah dan Rasul‐Nya, sekalipun orang‐orang itu bapak‐bapak, atau anak‐anak atau saudara‐saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang‐orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati merekadengan pertolongan yang datang daripada‐Nya. Dan dimasukkan‐Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai‐sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah Subhanahuwata’alla ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)‐Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS. al‐Mujadilah:22)

Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala (yang artinya) :

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang‐orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama‐lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja" (QS. Al‐Mumtahinah:4)

Wa billahit taufiq, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Tertanda:

Ketua:
Abdul Aziz Bin Baz

Wakil Ketua:
Abdurrazzak Afifi

Anggota:
Abdullah Ghudayyan

(Fatawa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa no. 11168)


Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir. Dan bagaimana kita menjawab jika mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah diperbolehkan pergi ke tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan hal tersebut tanpa disengaja, akan tetapi dilakukan sekadar basa-basi, karena malu, terpaksa, atau sebab yang lain? Apakah diperbolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?

Beliau menjawab: "Mengucapkan tahni'ah (ucapan selamat) pada hari natal atau hari raya lainnya yang menjadi kekhususan agama mereka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Ibnul Qayyim dalam "Ahkam Ahludz Dzimmah" berkata :

”Adapun mengucapkan tahni'ah berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar dan puasa mereka, sembari mengucapkan,’ Ied Mubaarak (Semoga Hari raya anda diberkahi)’ atau selamat hari ini dan itu. Yang demikian, seandainya pun orang yang mengucapkannya selamat dari kekafiran, namun perbuatan tersebut termasuk sesuatu yang diharamkan. Ia sama dengan memberi ucapan selamat atas penyembahan mereka kepada salib, dimana hal tersebut merupakan perbuatan yang paling tercela di sisi Allah, lebih-lebih lagi memberi ucapan selamat atas perbuatan mereka dalam meminum khamr dan membunuh jiwa-jiwa tanpa hak, berbuat zina dan berbagai perbuatan haram lainnya. Kebanyakan orang yang awam dalam masalah agama jatuh dalam perbuatan tersebut, dan tidak mengetahui keburukan perbuatan tersebut. Maka barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba atas maksiatnya, atau bid'ah dan kekufuran yang telah ia lakukan, maka ia akan menghadapi kemurkaan Allah"

Tahni'ah terhadap hari raya kuffar pada hari-hari besar mereka dihukumi haram sebagaimana penjelasan Ibnul Qoyyim karena ucapan tersebut menunjukkan persetujuan atas syi'ar-syi'ar kekafiran serta menerima kekufuran mereka walaupun mereka (yang turut mengucapkannya) tidak ridho kekufuran itu atas diri mereka. Akan tetapi diharamkan bagi seorang muslim ridho terhadap syi'ar-syi'ar kekufuran itu dan memberikan selamat atau bahkan membantu mereka dalam perayaan tersebut. Hal ini dikarenakan Allah Ta'ala sendiri tidak meridhai hal tersebut, dalam firman-Nya :


إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
"Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu." (QS. Az Zumar : 7)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sumpurnakan agamamu dan Kulengkapi nikmatku, dan Aku ridha kepadamu Islam sebagai agama bagimu." (QS. Al Maidah : 3)

Ucapan tahni'ah atas kekufuran mereka haram, walaupun dia partner kerja ataupun tidak. Apabila mereka mengucapkan selamat pada kita dihari raya mereka, maka kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita juga bukan hari raya yang diridhai Allah ta'ala, lagi pula hari raya itu merupakan sesuatu yang diada-adakan di dalam agama mereka, atau mungkin disyariatkan akan tetapi telah dihapus agama islam yang dibawa oleh Rasullah shallallahu alaihi wasallam untuk seluruh makhluk : Allah berfirman:


وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran : 85)

Memenuhi undangan untuk perayaan ini diharamkan bagi seorang muslim, sebab menghadirinya lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan tahni'ah, karena menghadirinya masuk dalam kategori ikut serta dalam perayaan tersebut. Diharamkan juga menyerupai mereka dalam perayaan itu baik dengan mengadakan pesta, saing bertukar hadiah, membagikan permen ataupun makanan khas natal. Begitu juga dengan meliburkan kerja dan yang semisalnya bardasarkan sabda Rasulullah shallahu alaihi wasallam, "Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari kaum itu". Syaikhul Islam di dalam kitabnya Iqtidha Shiraat Al-Mustaqim menyebutkan: "Menyerupai orang-orang kafir pada hari-hari besar mereka akan membuat orang-orang kafir itu bahagia dalam kebathilan mereka. Bahkan perbuatan ini akan membuat ambisi mereka semakin besar dalam memanfaatkan peluang untuk menghinakan orang-orang yang lemah.

Siapa saja yang melakukan sesuatu dari (apa yang telah kami jelaskan) itu, maka dia berdosa baik dia melakukannya dengan tujuan basa-basi, atau karena rasa cinta, malu dan faktor yang lain. Perbuatan itu termasuk mudahanah (menyepelekan agama Allah). Hal tersebut juga akan menjadi sebab kuatnya mental orang-orang kafir dan menambah kebanggaan mereka terhadap agamanya

Hanya kepada Allah Kami memohon agar Dia memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, mengaruniakan untuk mereka keteguhan diatas agamanya, dan menolong mereka atas musuh-musuhnya. Ssungguhnya dia maha Kuat dan Maha Perkasa.

(lihat Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad ibn Shalih Al Utsaimin: 3/45-46)

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa memberi ucapan selamat terhadap orang kafir dalam perayaan mereka tidak terlepas dari dua keadaan:

Pertama: Jika Ucapan tahniah tersebut disertai pengagungan maka pelakunya jatuh dalam kekufuran.

Kedua: Jika ucapan tahniah tersebut tidak disertai dengan pengagungan maka masuk dalam kategori perbuatan yang diharamkan. Pelakunya tidak dihukumi kafir, namun tetap diberi sangsi ta'zir oleh penguasa. Sebab perbuatan tersebut bisa menjadi celah yang dapat mengantarkan pelakunya pada pengagungan terhadap hari besar non muslim dan menyeretnya pada kekufuran. 

Wallahu A'lam


Mohon Kritik dan sarannya. 
Jazaakullahu khairon.

Madinah Desember 2013 M

Samstag, 21. Dezember 2013

MAAF.... BILA TAK ADA UCAPAN SELAMAT UNTUKMU.


Mami…. Maaf bila esok tak ada ucapan selamat hari ibu untukmu.. Bagiku, tak ada hari khusus untuk mengungkapkan rasa sayang dan cinta itu padamu.

Setiap kali sinar fajar menyemburat bersama kabut tipis yang menyelimuti pagi, engkau selalu terucap dalam baris do'aku.

Seperti kasih sayangmu yang tak pernah pudar oleh waktu, seperti itulah aku mengingatmu di kota Rasulullah ini. Walau ku tau baktiku takkan pernah bisa membayar setitik peluh yang menetes saat membesarkanku, bahkan tidak untuk sepenggal malam yang membuatmu terjaga karena tangisku dulu.

Maaf.. Bila tak ada ucapan selamat untukmu… Sebab aku tak ingin menyelisihi Rasulullah dengan mengkhususkan hari untuk merayakan kasihmu. Dan karena bakti, cinta serta kasih sayang tak membutuhkan waktu khusus untuk mengungkapkannya.

Maaf… Bila esok tak ada kado untukmu…. Namun aku berjanji untuk menjadi kado terindah bagimu, agar aku mendoakanmu disaat engkau ada ataupun tiada..

Semoga Allah menjagamu mami…

Aku tau kalau engkau takkan pernah mebaca goresan pena ini, namun biarkan aku menulisnya untukmu dan untuk mereka yang ingin tetap mencintai kedua ibu bapaknya disisa waktu yang ada.

Senja di tepi laut merah, Jum'at 17 Shafar 1435 H. 20 Desember 2013

Samstag, 14. Dezember 2013

DIBALIK KATA SYUKRON

Syukron atau terima kasih adalah ungkapan yang ringan dan mudah diucapkan. Namun sedikit yang menyadari urgensi dan nilai-nilai yang ada dibalik ungkapan ini. Arogansi dan keangkuhan seringkali menjadi biang utama keengganan seseorang untuk mengucapkan terimah kasih pada orang yang telah berbuat baik kepadanya. Padahal keengganan untuk berterima kasih masuk dalam kategori kufur nikmat.

Di dalam kitab Al Kabaa'ir Imam Adz Dzahabi –rahimahullah- menuturkan,
"Mengkufuri nikmat/kebaikan (enggan berterimakasih-pent) kepada orang yang berbuat baik (kepada kita) adalah dosa besar.

Allah ta’ala berfirman:

  أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ

"Hendaknya kalian bersyukur pada-Ku dan pada kedua orang tua" (Luqman: 14)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ

"Tidak bersyukur kepada Allah siapa saja yang tidak berterimakasih kepada manusia (yang telah berbuat baik padamu, pent)". (HR Abu Daud, dan At Tirmidzi)
Para Ulama Salaf sepakat bahwa kufur nikmat adalah dosa besar. Adapun cara bersyukur (berterimkasih. pent) adalah membalas kebaikan tersebut dengan mendoakan sang pemberi.
Diantara doa yang diajarkan Nabi tercinta dalam rangka membalas kebaikan orang lain adalah ucapan: Jazakallahu khairan.

Beliau bersabda:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ ، فَقَالَ لِفَاعِلِهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا , فَقَدْ أبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

“Barangsiapa yang diberi suatu kebaikan, kemudian mengatakan kepada pemberi kebaikan tersebut, ‘Jazakallahu khairan"’ Sungguh yang demikan itu telah menunjukkan kesungguhannya dalam pujian (terimakasih).” (HR. At Tirmidzi)

Makna doa tersebut adalah:

"semoga Allah membalas kebaikanmu dengan yang lebih baik".

Nabi shallahu alaihi wasallam menyebut doa ini sebagai sebaik-baik pujian. Karena yang diminta untuk membalas kebaikan tersebut adalah Allah. Rabb yang selalu memberi lebih dari apa apa yang dikerjakan hamba-Nya. Karena bagaimanapun juga kita tidak dapat membalas kebaikan orang lain terhadap kita dengan kebaikan yang sepadan. Secara materi mungkin saja, tapi cinta dan ketulusan yang menyertai pemberian tersebut tentu tak akan sama.

Cara lain berterima kasih juga bisa dengan membalas dengan pemberian yang serupa. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

 مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُ

“Barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah dengan setimpal.” (HR. Ahmad)
Jika tak mampu membalas dengan balasan setimpal, maka doakanlah ia.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

وَمَنْ أَتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَعْلَمُوا أَنْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

Dan barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah (kebaikannya) dengan kebaikan yang setimpal. Dan jika kalian tidak mendapati sesuatu untuk membalas kebaikannya maka berdo’alah untuknya sampai kalian merasa telah membalas kebaikannya.” (HR. Ahmad)
Semoga Allah Subhaanahu wa ta"ala memasukkan kita kedalam golongan orang-orang yang bersyukur.

Catatan:

Orang yang ikhlas tidak akan pernah gila dengan ucapan terimah kasih. Namun kita yang menikmati karunia Allah melalui ketulusan orang lain itulah yang memerlukan terimah kasih sebagai ungkapan syukur kepada Allah serta pembalasan minimal yang patut bagi mereka yang pernah berjasa dalam kehidupan kita. Juga sebagai pemaknaan terhadap diri sendiri karena telah mampu menepis ego.
Ingat! Selalu ada keringat orang lain yang menyertai keberhasilan dan kesuksesan kita.
_____________
Madinah 11-Shafar-1435 H
ACT El-Gharantaly

Freitag, 13. Dezember 2013

Dengan Hati Apa Kita Akan Menemui-Nya..?

(السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ )

Sahabat... Pernakah terlintas dalam pikiran kita sebuah tanya, "Bila nanti ajal menjemput, dengan hati apa kita akan menemui-Nya...???"

Seringkali kita bertemu dengan kerabat atau teman dekat, pertanyaan mereka selalu sama.

Bagaimana kabar kesehatan anda..?

Bagaimana kabar keluarga anda..?

Bagaimana kabar pekerjaan anda..?

Namun sangat jarang atau bahkan tak pernah kita mendengar mereka bertanya, "Bagaimana kondisi hati anda..?" Bahkan pertanyaan ini mungkin terasa aneh bagi sebagian orang. Tapi kita perlu untuk bertanya, paling tidak terhadap diri kita sendiri. Abu Hurairah -radhiallahu anhu- berkata: "Hati adalah raja, sedangkan anggota tubuh adalah tentara. Jika raja itu baik, maka akan baik pula tentaranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tentaranya”. Iya, Segumpal darah yang bernama hati itu harus selalu terjaga, karena dengan hati kita mengenal Allah. Dengan hati kita bertaqarrub kepada-Nya, dengan hati kita menyusuri jalan menuju-Nya dan dengan hatilah kita akan kembali menemui-Nya.

Allah azza wajallah berfirman:

يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
 "(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'ara': 88-89).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

"Qalbun salim adalah hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah. Ia juga bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan firman-Nya. Selamat dari melakukan penghambaan kepada selain-Nya, bersih dalam mencintai Allah dan dalam berhukum kepada Rasul-Nya, bersih dalam rasa takut, pengharapan, dan tawakal kepada-Nya, besih dalam taubat kembali kepada-Nya, dalam menghinakan diri di hadapan-Nya, dalam mengutamakan ridha-Nya di setiap keadaan dan dalam menjauhi segala kemungkaran karena-Nya. Dan inilah hakikat penghambaan (ubudiyah) sesungguhnya yang tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata. Maka, qalbun salim adalah hati yang selamat dari menjadikan sekutu untuk Allah dengan alasan apa pun. la hanya mengikhlaskan penghambaan dan ibadah kepada Allah semata, baik dalam kehendak, cinta, tawakal, inabah (kembali), merendahkan diri, khasyyah (takut), raja'(pengharapan), dan ia mengikhlaskan amalnya untuk Allah semata. Jika ia mencintai maka ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci maka ia membenci karena Allah. Jika ia memberi maka ia memberi karena Allah. Jika ia menolak maka ia menolak karena Allah.

Selanjutnya Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan hati yang lain, beliau berkata:

"Tipe hati yang kedua yaitu hati yang mati, tidak ada kehidupan di dalamnya. Hati ini tidak lagi mengenal Tuhannya, tidak lagi menyembah-Nya dengan perintah dan dengan apa yang dicintai serta diridhai-Nya. Ia bahkan selalu menuruti keinginan nafsu dengan segala kelezatannya, ia tidak peduli meskipun dalam kelezatan itu ada murka Allah. Obsesinya adalah memuaskan hawa nafsunya, tak peduli apakah Tuhannya rela atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah; dalam cinta, takut, harap, ridha dan benci, dalam pengagungan dan kehinaan. Jika ia mencintai, maka ia mencintai karena hawa nafsunya. Jika ia membenci, maka ia membenci karena hawa nafsunya. Jika ia memberi, maka ia memberi karena hawa nafsunya. Jika ia menolak, maka ia menolak karena hawa nafsunya. Ia lebih mengutamakan dan mencintai hawa nafsunya daripada keridhaan Tuhannya. Hawa nafsu adalah Imamnya, syahwat adalah panglimanya, kebodohan adalah pengendalinya, kelalaian adalah kendaraannya. Pikirannya kalut karena berfikir bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan duniawi. Hawa nafsu dan kesenangan sesaat telah membuatnya mabuk. Ia dipanggil menghadap Allah dan kampung akhirat dari tempat yang jauh. Ia tidak lagi mempedulikan orang yang memberinya nasihat, sebaliknya ia mengikuti setiap langkah dan keinginan syetan. Dunia kadang membuatnya marah dan kadang membuatnya senang. Hawa nafsu membuatnya tuli dan buta kecuali dari kebatilan. Membaur dengan orang yang memiliki hati semacam ini adalah penyakit, bergaul dengannya adalah racun dan menemaninya adalah kehancuran.

Adapun hati yang ketiga adalah hati yang hidup namun cacat. Ia memiliki dua kekuatan yang saling tarik-menarik. Ketika ia memenangkan pertarungan itu maka di dalamnya dipenuhi kecintaan kepada Allah, keimanan, keikhlasan dan tawakal kepada-Nya, itulah kekuatan kehidupan. Namun di dalam hati semacam ini juga terdapat kecintaan kepada nafsu, keinginan dan usaha keras untuk mendapatkannya, dengki, takabur, bangga diri, kecintaan terhadap kekuasaan dan keinginan untuk membuat kerusakan di bumi, itulah kekuatan yang menghancurkan dan membinasakannya. Ia diuji oleh dua penyeru: Yang satu menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya serta hari akhirat, sedang yang lain menyeru kepada kenikmatan sesaat. Dan ia akan memenuhi salah satu di antara yang paling dekat pintu dan letaknya dengan dirinya. Hati yang pertama selalu tawadhu', lemah lembut dan sadar, hati yang kedua adalah kering dan mati, sedang hati yang ketiga hati yang sakit; ia bisa lebih dekat pada keselamatan dan bisa pula lebih dekat pada kehancuran. Allah menjelaskan ketiga jenis hati itu dalam firman-Nya,

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila dia mempunyai sesuatu ke­inginan, syetan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keingin­an itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan itu dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syetan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa Al-Qur'an itulah yang haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus." (Al-Hajj: 52-54).

Dalam ayat ini Allah membagi hati menjadi tiga macam: Dua hati terkena fitnah dan satu hati yang selamat. Dua hati yang terkena fitnah adalah hati yang di dalamnya ada penyakit dan hati yang keras (mati), sedang hati yang selamat adalah hati orang Mukmin yang merendahkan dirinya kepada Tuhannya, dialah hati yang selalu merasa tenang dengan-Nya, tunduk, berserah diri serta taat kepada-Nya.

(Disarikan dari Igaatsatullahfaan Jilid:1 hal:10-14. Cetakan: Daar Alim El Fawaa'id )

Setelah membaca penjelasan Imam Ibnul Qoyyim di atas, saatnya memilih dengan hati apa kita akan menjupai-Nya

Bila pilihan jatuh pada hati yang pertama, maka marilah kita mencari hati itu di tempat yang ditunjukkan Ibnul Qoyyim dalam ungkapannya yang masyhur,,
"Carilah (kedamaian) hatimu ditiga tempat, disaat mendengarkan Al-Qur'an, disaat menghadiri majelis ilmu, atau disaat engkau berkhalwat sendiri (dalam Ibadah). Jika engkau tidak mendapatkannya, maka memohonlah kepada Allah agar memberimu hati yang lain. Karena (pada hakekatnya) engkau tak lagi memiliki hati."
(Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam kitab fawaaid: 1/149)
Semoga kita kembali kepada-Nya dengan hati yang selamat.

Abul Fayruz El-Gharantaly Madinah Al Munawwarah.
Jum'at 10 Shafar 1435 H/ 13 Desember 2013 M