"Kepada
Putra – Putriku". Risalah kecil itulah yang membawa penulis berkenalan dengan
sastrawan ternama Syaikh Ali Thantawi –rahimahullah-. Waktu itu penulis duduk
di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Sejak saat itu cukup lama penulis
tidak bersinggungan lagi dengan karya beliau, hingga tahun kedua di bangku
kuliah UIM Madinah.
Di dalam buku Rijaalun minattaarikh Syaikh Ali rahimahullah mengisahkan pertemuan beliu dengan syaikh Bahjat Al Bithaar yang kelak menjadi jalan hidayahnya menuju manhaj salaf, beliau berkata: "Pada tahun 1921 M saat aku berguru pada syaikh Hami At Taqiy -beliau adalah murid termuda dari Syaikh Jamaaluddin Al Qaasimy rahimahumullah di sekolah percontohan Al Muhaajirin di Damaskus- beliau menceritakan kepada kami tentang kawan belajarnya dalam ilmu qiraah kepada syaikh Jamaluddin Alqasimy yaitu syaikh Bahjad Al Bithaar yang pada saat itu bertugas sebagai guru di sekolah percontohan Al Maidaan Al Ibtidaa'i. Berapa tahun kemudian aku mengunjungi Al Maidaan untuk melaksanakan sholat jum'at di di Jami' Ad Diqaaq. Saat itulah (untuk pertama kalinya) aku mendengarkan khutbahnya. Aku mendapati sesuatu yang tidak kudapati di masjid-masjid yang dulu aku pernah sholat didalamnya. Dia (Syaikh Bahjat) tidak membaca khutbah dari kumpulan-kumpulan khutbah kuno sebagaimana yang dilakukan banyak khotib dimasa itu. Dan tidak juga melalui sebuah teks yang membuatnya tidak mengangkat kepala karena sibuk membaca. Dia menyampaikan khotbah secara spontanitas tanpa melalui persiapan".
Keberanian beliau dalam menentang bid'ah dan menyuarakan kebenaran.
Karya Beliau.
Tulisan sederhana ini merupakan upaya kecil penulis dalam memperkenalkan Syaikh
–rahimahullah- kehadapan sidang pembaca dan para penuntut ilmu. Penulis sadar
bahwa tulisan ini terlalu kecil untuk mengurai kisah hidup pribadi besar yang
menjadi saksi berbagai macam perubahan di abad ke 20 M, bahkan sebagian
sastrawan menobatkannya sebagai Ringkasan hidup abad 20.
Dari
Kelahiran Hingga Masa Remaja
Syaikh Ali Thantawi -rahimahullah- lahir di Damaskus pada tanggal
23 Jumadil Ula 1327 H bertepatan dengan 19 Juni 1909 M. Keluarganya berasal
dari Thanta sebuah kota di Mesir. Namun diawal abad ke 19 M kakeknya Muhammad bin Musthofa melalukan
imigrasi dari mesir menuju Syam. Bila mengacu pada literatur yang ada, dapat
disimpulkan bahwa beliu –rahimahullah- lahir ditengah keluarga yang dipenuhi
ilmu dan hikmah. Ayah beliu Mustafa Thantawi merupakan ulama kenamaan Syam di masanya.
Ibunya adalah saudara kandung Muhibbuddiin Al-khatiib seorang tokoh pergerakan
dakwah salafiyah di abad ke 20 M. Lingkungan ilmiyah inilah yang mendorongnya untuk
tekun dalam menuntut ilmu.
Thantawi
kecil memulai pendidikan dasar formal pada masa pemerintahan Ottoman Turkey di
Madrasah At Tijaariah, tempat dimana ayahnya menjabat sebagai direktur. Beliau
sempat beberapa kali pindah sekolah, diantaranya Sekolah Dasar As-Sulthaniyah
2, sekolah Al-Juqmaqiyah dan beberapa
lembaga pendidikan negeri lainnya di syam hingga tahun 1923 M. Untuk mempelajari ilmu Agama pilihananya jatuh pada Masjid Jaami' Taubah yang tidak jauh dari
rumah ayahnya. Masjid ini merupakan tempat yang digunakan para ulama di masanya
untuk menyampaikan berbagai macam pelajaran dalam berbagai displin ilmu dan
juga sebagai tempat untuk menghafal Al Qur'an.
Dimasjid
itulah beliau menghabiskan masa kecilnya untuk menuntut imu, hingga usianya
memasuki 16 tahun saat ayahnya Mustafa tanthawi meninggal dunia. Syaikh –rahimahullah-
berkata: "Di hari kedua puluh bulan Sya'ban tahun 1342 H Ayahku meninggal
dunia. Kalian semua pasti tau arti dari kematian, karena akhir perjalanan dari
setiap yang hidup adalah kematian. Setiap orang pasti pernah menyaksikan
kematian orang yang paling berharga dalam hidupnya atau kehilangan orang yang
dikasihinya. Akan tetapi kalimat "مات أبى"
(ayahku meninggal) kalian tidak akan pernah tau apa maknanya bagiku" (Dzikrayat
jilid 1 hal: 229).
Kepergian
ayahnya merupakan pukulan terberat baginya, itu karena kepergian ayahnya
berarti kehidupan baru baginya. Cucu tertua beliu Ust. Mu'min Diraniah
menuturkan: "Dimasa itu syaikh belum siap menanggung beban keluarga yang
dihadapinya itu sendiri, namun dialah anak tertua dalam keluarga, posisi itulah
yang mengharuskannya memikul tanggung jawab besar itu" (Hayaatul Insaan).
Kondisi
ekonomi keluarga yang lemah selepas kepergian ayahnya membuat Tanthawi muda
sangat tertekan. Ayahnya meninggalkan hutang yang tidak sedikit, hal itu
mengharuskan ia dan keluarganya pindah dari rumah besar ayahnya ketempat kecil
yang sangat kumuh. Sebuah keadaan yang menghentakkan jiwanya, namun berbuah
keyakinan bahwa sekaranglah saatnya untuk menjadi seorang laki2 dalam makna
yang hakiki . -(Untuk mengetahui sebab mengapa ayahnya banyak meninggalkan
hutang silahkan baca: Dzikrayaat jilid 1 hal: 227, untuk kisah
digubuk yang kumuh silahkan lihat Makalah Jawaabun ala kitaab dalam buku Min
Haditsin Nafs)-
Sulit
memang, kondisi keluarga berubah drastis, semasa ayahnya hidup ia memiliki
kesempatan untuk meluangkan seluruh waktunya dalam menuntut ilmu dan membaca,
namun keadaan memaksanya untuk berhenti menuntut ilmu dan mencari pekerjaan
lain guna menghidupi anggota keluarga.
Thantawi kecil berpindah dari satu pkerjaan ke pekerjaan yang lain, dari
toko satu ke toko yang lain, dari memikul barang dagangan orang lain hingga berjualan
keju dan gula. Sampai akhirnya dia sadar bahwa dirinya tidak cocok untuk
menyibukkan diri dalam jual beli. Kerabat dan kawan dekatnya mendorongnya supaya kembali menyibukkan diri
dengan menuntut ilmu. Saran itupun diterima.
Beliu
akhirnya melanjutkan pendidikan yang sempat terputus itu di Maktab Anbar sebuah
lembaga pendidikan setingkat SMP dan hanya satu-satunya di kota Damaskus. Pada
tahun1928 M disekolah inilah beliau meraih gelar akademik Bakloria. Cucu beliau
Mujahid Diraniah menuturkan bahwa "Di Maktab Anbariah inilah Syaikh
melewati masa-masa yang pnuh kenangan yang selalu diingatnya sepanjang
waktu"(Hayaatul insaan)
Diawal
karirnya ia mencoba menggeluti dunia tulis-menulis yang dikemudian hari menjadi keahliannya. Ust Kurdi Ali pemilik surat kabar Al Qabs
pernah memintanya menulis, namun diumur yang terlalu muda itu dia merasa kurang
percaya diri. Dia bahkan tidak pernah
bermimpi bahwa karya orang muda sepertinya akan dimuat dan dibaca khalayak
ramai. Namun Anwar Atthaar -penyair
kawakan dimasa itu yang merangkap sebagai guru dan kawannya dikemudian hari-
mendorongnya untuk maju. Akhirnya Thantawi mudapun memberanikan diri untuk maju
meski dengan tekad bercampur ragu.
Tak
ada yang menduga memang, tulisan pertamanya membuat Ust Kurdi Ali berdecak
kagung, beliau setengah tidak percaya bahwa anak muda seusianya mampu
menghasilkan karya tulis yang begitu indah dengan gaya bahasa sastra yang
tinggi. Ust Kurdi memintanya kembali menuliskan sebuah artikel yang akan
dipublikasikan segera. Thantawi muda masih setengah percaya, sebab kalangan
muda dizamannya tidak pernah bermimpi jika tulisan mereka akan dipublikasikan,
hal itu disebabkan jumlah surat kabar yang sedikit dan terbatas serta banyaknya
sastrawan dan penulis senior yang jauh lebih popular dianding beliau. Namun sekali
lagi, kita boleh menebak soal apa saja, tapi tidak soal takdir. Tulisannya
benar-benar dimuat dan menempati halaman pertama. Sejak saat itulah kariernya
dalam dunia sastra terus melejit.
Satu
hal yang membuat Thantawi muda berbeda
dengan teman-teman sebayanya adalah keseriusannya dalam menuntut ilmu baik di
sekolah formal ataupun di majelis-majelis ilmu. Ditambah lagi ketekunan beliau
dalam membaca. Dalam sebuah ceramahnya beliu berkata: "Sejak aku bisa
membaca 70 tahun yang lalu, sejak itulah aku mulai menyibukkan diriku dengan
membaca, aku bukan anak yang suka menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak sebayaku
dilorong-lorong komplek" (Fi maaidail Ifthaar).
Di Negeri Piramida
Perkembangan
keilmuannya semakin melampaui rekan-rekan sebayanya, rasa haus terhadap ilmu
membuat beliau akhirnya memutuskan untuk berangkat ke mesir. Disanalah Syaikh –rahimahullah-
banyak bertemu dengan ulama dan sastrawan ternama.
Sebenarnya
apa yang mendorong beliau untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir kala itu..?
Syaikh -rahimahullah- berkata: "Guru-guru kami selalu bercerita tentang Al
Azhar dan segala yang berkaitan dengannya. Cerita mereka membuat kami jatuh
cinta pada Jami' Al Azhar. Kami mengkhayalkan surga ruhiyah dan kenikmatan
qalbu. Kami selalu berfikir bahwa apa yang kami lihat mulai dari karisma hingga
kebersahajan guru-guru kami adalah buah dari surga atau tepian paling jauh dari
kenikmatan (ruhiyah) itu. Setiap malam datang, kami selalu menghiasi tidur kami
dengan kerinduan terhadap Al Azhar, berharap agar dapat mengunjungi mesir dan
melihat keindahan Al Azhar. Namun tatkala aku tiba di Mesir tahun 1927 M, aku
melihat Al Azhar telah berubah, ia tidak seperti yang digambarkan guru-guru
kami dahulu, kondisinya berbeda dari apa yang pernah diceritakan kepada kami
dulu. Akupun meninggalkannya dan memilih melanjutkan pendidikan di Daarul Ulum
Ulya. Saat aku kembali berkunjung ke mesir tahun 1945 M aku tidak lagi menemukan
Jami' Al Azhar, aku hanya mendapati masjid yang kosong, dan gedung-gedung
perkuliahan yang berafiliasi dengan Al Azhar. Semua tak ubahnya seperti kebanyakan sekolah yang
kita ketahui. Aku menangis saat aku merasa kehilangannya, aku merindukannya. Kerinduanku
bukan pada lentera-lentera minyak dan keindahan serambi masjid yang
mengitarinya, namun kerinduan itu pada ketakwaan dan akhlak (yang pernah diceritakan
dulu kepadaku), iya, aku menangisi guruku" (Fi Sabiilil Islah
hal 34-35).
Namun
belum sempat menyempurnakan pendidikan, sang Ibu tercinta meninggal dunia. Beliau
akhirnya memutuskan kembali ke Damaskus dan memilih kuliah di tempat
kelahirannya. Beliau memilih Fakultas hukum
hingga meraih gelar lisence di tahun 1933 M. Perihal kepergian ibunya Ali Thantawi
berkata: "Aku membayangkan bahwa aku tidak akan bisa sehari berpisah
dengan ibuku, karena aku adalah bagian dari hidupnya, aku banyak bergantung
padanya. Dialah tempat aku menyimpan segala pedih dan anganku. Iya, seperti
kebanyakan hubungan anak dan orang tua. Ibuku…. Aku tak pernah berfikir bahwa
aku mampu untuk jauh darinya walau
sehari, atau aku bisa hidup setelah kepergiaannya" (Fii Maaidatil ifthaar)
Sekembalinya dari Mesir Thanthawi muda diajak untuk
membentuk sebuah lembaga kemahasiswaan tingkat tinggi suriah. Lembaga ini
merupakan organisasi kepemudaan yang turut memberikan kontribusi bagi
perlawanan terhadap tirani Perancis yang menjajah Suriah dimasa perang dunia
pertama. Dia dipilih sebagai ketua dan menjalani jabatan itu selama tiga tahun.
Dibidang pendidikan Thantawi muda memulai karirnya
pada umur 18 tahun sebagai guru dibanyak sekolah swasta. Materi-materi kuliah
yang disampaikannya mendapat apresiasi besar dari pendengar, hingga beberapa
diantaranya dicetak kemudian dipublikasikan. Sejak tahun 1931 hingga tahun1935 beliau melewati masa-masa sulit dalam
hidupnya. Hal itu sebagai efek dari gejolak perlawanannya terhadap penjajah dan
krooni-kroninya yang menyusup dalam pemerintahan. Tahun 1936 Thantawi pindah ke
Iraq bersama rekannya Anwar At Thaar. Disana beliu mengajar pada sebuah lembaga
pendidikan menegah pertama yang berlokasi di pusat kota Baghdad. Sifat kerasnya
dalam melawan tirani penjajah rupanya telah mendarah daging, manuver-manuver
perlawanan yang dilakukannya di Syam kini dilakukannya juga di Iraq. Hal itu
membuat Syaikh Rahimahullah berpindah dari skolah satu ke sekolah lainnya
diseantero Iraq hingga tahun1939 M. Syaikh akhirnya kembali ke Damaskus untuk
mengemban tugas sebagai dosen pembantu di Maktab Anbar yang tak lain adalah
almamaternya dahulu. Namun seperti biasa beliau tidak pernah berhenti
menyuarakan kebenaran. Sikapnya yang tegas terhadap penjajah semakin tak
tergoyahkan, hal itu yang membuatnya untuk kesekiankalinya dipindah tugaskan ke
Madrash Deer Az Zaur pada tahun 1940
M. Syaikh menetap disana selama satu semester penuh, kemudian
dipindah tugaskan lagi sebagai akibat dari Khutbah jum'at yang disampaikannya berisi
seruan perlawan terhadap penjajah Perancis.
Hijrah Ke Haramain
Sejak tahun 1941 M hingga tahun 1963 beliau Rahimahullah
menduduki beberapa jabatan penting diantaranya sebagai hakim di beberapa tempat
di Damaskus selama sepulah tahun, juga sebagai konsultan pada Mahkamah An Naqdh
di Kairo dan beberapa jabatan lainnya.
Pada tahun 1963 terjadi gejolak politik di Suriah. Suriah ditetapkan tengah memasuki kondisi gawat
darurat, taka ada pilihan lain kecuali hijrah. Beliau akhirnya memutuskan untuk
hijrah ke KSA, disana beliu diberi amanah sebagai dosen pada Fakultas sastra
dan bahasa arab di pusat kota Riyadh. Tugasnya sebaga dosen di Riyadh tak
berjalan lama, dia kembali ke Suriah untuk menjalani pengobatan. Setahun
kemudian beliau kembali lagi ke KSA untuk memenuhi tawaran yang diajukan padanya.
umurnya
dengan berbagai kegiatan dakwah. Kepindahannya ke Mekkah dan Jeddah laksana periode
baru dalam hidupnya. Beliau ditugaskan sebagai dosen pada fakultas Tarbiyah di
sebuah kampus yang kini bernama Ummul Quro', namun itu tak berlangsung lama,
syaikh memutuskan untuk berhenti dari tugasnya sebagai dosen dan lebih memilih
menjalankan beberapa program tauiyah sebagai relawan dakwah. Aktifitas barunya
ini membuatnya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain di Saudi untuk
menyampaikan materi kuliah diberbagai universitas, sekolah-sekolah sekaligus menyampaikan
ceramah-ceramah agama disentero Kerajaan Saudi. Tidak hanya itu, kesibukannya
bertambah padat saat ia ditugaskan untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjidil
Haram Makkah pada tempat yang sudah dikhususkan untuknya, ditambah lagi dengan berbagai
program acara di radio dan televisi. Kesibukan itu menjadi rutinitasnya hingga
akhir hayat beliu rahimahullah.
Jasa Beliau Untuk Dunia Islam
Syaikh Ali Thanthawi
memiliki banyak jasa pada dunia islam islam. Salah satu sumbangsihnya
terhadap dunia islam yang paling penting dalam hidupnya adalah misi kampanye
krisis Palestina pada dunia islam. Misi
ini sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Muktamar Islam yang diselenggarakan
di Quds pada tahun 1953 M.
Misi inilah yang membawanya menjelajahi
negeri-negeri islam hingga Indonesia. Pengabdian tulus terhadap Islam itu mendapatkan
apresiasi dari banyak kalangan di berbagai Negara. Dan puncak penghargaan itu
berupa anugrah Faisal Aword dari Kerajaan Saudi yang diterimanya pada tanggal
10-08-1398 H bertepatan dengan 18 January 1990 M.
Sebuah Pilihan (dari Asy Ary Maturidy menjadi Salafy)
Meski Syaikh Ali Thantawi rahimahullah tumbuh dan dibesarkan di lingkungan
ilmiah, namun ia tidak mendapatkan pengajaran aqidah yang benar semasa
kecilnya, Syaikh Al Majdzuub menuturkan: "Di awal kehidupannya, beliau
(Ali Thantawi) tumbuh di lingkungan sufi. Ayahnya adalah seorang penganut Tariqah
Naqsabandiyah sebagaimana pemuka2 ulama lainnya di masa itu. Dari ayahnya ia
belajar membenci Ibnu Taimiyah dan Wahhaabiyah, hingga ia pergi ke mesir dan
bertemu pamannya Muhibbuddin Al Khatiib. Pertemuan itu seolah memberi ruh yang
mendorongnya untuk melakukan kajian ulang terhadap kondisi masyarakatnya.."
Al Majdzuub melanjutkan: " Namun pertemuan itu
tidak berujung pada kepastian sikap beliau, hingga kemudian ia dipertemukan
dengan Syaikh Bahjat Al-Bithaar. Sejak itulah kehidupannya istiqamah diatas
jalan yang lurus dengan konsistensi yang kuat. Konsekwensi dari keistiqomahan
itu melahirkan dua karya beliu yang berbicara seputar kehidupan syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab. Tentu saja , konsistensi itu tidak didapatkannya dengan mudah.
Saudara beliu Abdul Ghani –sebagaimana penuturannya- memaksanya untuk melakukan
diskusi yang panjang bersama Syaikh Bahjat. Mereka masuk dalam rana diskusi
tajam yang menyebabkan syaikh murka terhadap ulah mereka. Padahal Syaikh Bahjad
Rahimahulah terkenal dengan pembawaannya yang tenang dan jauh dari Fanatisme. Diskusi
berlangsung hingga mereka tak lagi memiliki argument yang dapat dijadikan
landasan setelah kebenaran tersingkap dengan terang. (Ulamaa wa mufakkiriina
araftuhum jilid 3 hal:192)
Di dalam buku Rijaalun minattaarikh Syaikh Ali rahimahullah mengisahkan pertemuan beliu dengan syaikh Bahjat Al Bithaar yang kelak menjadi jalan hidayahnya menuju manhaj salaf, beliau berkata: "Pada tahun 1921 M saat aku berguru pada syaikh Hami At Taqiy -beliau adalah murid termuda dari Syaikh Jamaaluddin Al Qaasimy rahimahumullah di sekolah percontohan Al Muhaajirin di Damaskus- beliau menceritakan kepada kami tentang kawan belajarnya dalam ilmu qiraah kepada syaikh Jamaluddin Alqasimy yaitu syaikh Bahjad Al Bithaar yang pada saat itu bertugas sebagai guru di sekolah percontohan Al Maidaan Al Ibtidaa'i. Berapa tahun kemudian aku mengunjungi Al Maidaan untuk melaksanakan sholat jum'at di di Jami' Ad Diqaaq. Saat itulah (untuk pertama kalinya) aku mendengarkan khutbahnya. Aku mendapati sesuatu yang tidak kudapati di masjid-masjid yang dulu aku pernah sholat didalamnya. Dia (Syaikh Bahjat) tidak membaca khutbah dari kumpulan-kumpulan khutbah kuno sebagaimana yang dilakukan banyak khotib dimasa itu. Dan tidak juga melalui sebuah teks yang membuatnya tidak mengangkat kepala karena sibuk membaca. Dia menyampaikan khotbah secara spontanitas tanpa melalui persiapan".
Untuk beberapa waktu dia seperti kehilangan orang yang
dikaguminya. Syaikh Bahjat pergi menghadiri muktamar dunia islam yang
diselengarakan oleh raja Abdul Aziz di makkah
Al Mukarramah pada tahun 1345 H. Sejak kunjungannya itu, Raja meminta
agar syaikh Bahjat menetap disisinya dengan tugas sebagai direktur Ma'had Ilmy
di Makkah Al mukarramah.
Pada tahun 1350 H Syaikh Bahjat Al bithaar kembali ke
Damaskus. Beliau kembali menyampaikan khutbah di Jami Ad Diqaaq. Syaikh Ali
berkata: "Dihari-hari itu aku mulai mengenalnya. Aku mulai kagum terhadapnya.
Namun aku tidak sejalan dengan (apa yang disampaikannya). Apa yang kudengar
darinya bertentangan dengan apa yang selama ini aku tumbuh diatasnya. Dalam
masalah aqidah, dimasa itu aku meyakini apa yang telah ditetapkan oleh Asy'ariyah dan
Maaturidiyah. Sebuah keyakinan yang lebih dekat kepada filsafat Yunani. Sebuah
filsafat kuno dalam masaalah theologi.
Aku memegang kuat apa yang didiktekan dahulu kepada
kami bahwa metode salaf dalam memahami sifat-sifat Allah Aslam (jauh
lebih selamat), sementara metode khalaf Ahkam (jauh lebih sempuna). Aku
juga tumbuh dalam ketidaksukaan terhadap Ibnu Taimiyah, berpaling darinya dan
membencinya. Akan tetapi orang ini (Syaikh Bahjat) seolah membuat Ibnu Timiyah
mulia disisiku dan membuatku mencintainya. Dimasa itu aku adalah seorang
penganut mazhab Hanafi yang sangat fanatik, sementara dia ingin aku berlepas
diri dari fanatisme mazhab tersebut dan berpegang tenguh dengan dalil, bukan
dengan apa yang dikatakan mazhab.
Akhirnya uku terpengaruh dengannya, seiring bergulirnya hari akhirnya akupun menganut mazhabnya dengan penuh keyakinanan. Akan tetapi perpindahan ini bukan sesuatu yag mudah bagiku, aku bukan orang yang mudah diarahkan dan mudah mengikuti sesuatu, bahkan aku terus membela apa yang dulu akau yakini, puluhan majelis aku lalui dalam debat dan dikusi dengan berbagai bantahan, semangat menggebu dan sikap keras hingga larut malam. Namun syaikh selalu saja (membuatku kagum) dengan sifat lapang dadanya, kesabaran yang panjang, ditambah dengan keluasan ilmu dan argumennya yang kuat.
Akhirnya uku terpengaruh dengannya, seiring bergulirnya hari akhirnya akupun menganut mazhabnya dengan penuh keyakinanan. Akan tetapi perpindahan ini bukan sesuatu yag mudah bagiku, aku bukan orang yang mudah diarahkan dan mudah mengikuti sesuatu, bahkan aku terus membela apa yang dulu akau yakini, puluhan majelis aku lalui dalam debat dan dikusi dengan berbagai bantahan, semangat menggebu dan sikap keras hingga larut malam. Namun syaikh selalu saja (membuatku kagum) dengan sifat lapang dadanya, kesabaran yang panjang, ditambah dengan keluasan ilmu dan argumennya yang kuat.
Telah kupaparkan pada jilid pertama dari bukuku yang berkisah tentang Syaikh Muhammabd bi
Abdul Wahhab beragam fase yang kulalui, bagaimana aku tumbuh sebagai sorang
muqallid muawwil, benci terhadap ibnu taimiyah. Lalu Syaikh Bahjat
memberikan pengaruh terhadapku hingga aku menjadi pengikut aqidah salaf,
berpegang teguh dengan dalil. Dikemudian hari aku berinteraksi dengan Syaikh
Zaahid Al Kautsary untuk waktu yang singkat, aku kembali pada keyakinanku yang
dulu. Kemudian aku tinggal bersama
pamanku muhibbuddin Al Khatiib di Mesir, aku mulai mendekati Sayyid Rasyid
Ridho, hasilnya pengaruh Syaikh Bahjat terhadap diriku menguat lagi hingga aku
istiqomah di atasnya. (Rijaalun Minattaarikh hal 480-482 secara ringkas)
Syaikh berkata: Hubunganku dengan syaikh Bahjad dimasa
itu menyebabkan kesenggangan antara aku dan Guru-guruku, hal itu karena
kebanyakan para Masyaikh di Syam lebih condong pada ajaran Sufi dan enggan
terhadap wahhabiyah. Mereka tidak tahu dan mengerti bahwa di dunia ini tidak
ada mazhab wahhaby, itu hanyalah julukan yang disandarkan secara dusta oleh
musuh-musuh dakwah agar orang lain lari menghindar seperti seseorang yang
menghindar dari musuh berbahaya yang tidak diketahui. Ditengah-tengah
masyarakat kami memang ada Jemaah yang dicap sebagai wahhabiyah dan petingginya
adalah syaikh Bahjad Al Baithaar. (ibid 484-485)
Keberanian beliau dalam menentang bid'ah dan menyuarakan kebenaran.
Syaikh Zuhar As Syawis berkata: Seluruh ulama yang turut serta dalam
menyebarkan dakwah salafiyah di Syam sejak Jamaluddin Al Qaasimy hingga Abdul
Qadir Badran, Abdul Fattah Al Imam, Syaikh Bahjatil Biithoor, Nasiruddin Al Al
Bani semuanya dabat disimbolkan dengan Ali Thanthawi, karena dia memiliki
keberanian lebih yang tidak dimiliki
oleh sebagian mereka. Syaikh Zuhair melanjutkan: "Syaikh Rahimahullah
sering mendatangi perayaan maulid, -tentu perayaan ini merupakan suatu bid'ah-
Setiap orang yang datang berusaha meluruskan dengan sopan dan dengan bahasa
yang santun, seandainya kalin bgini, seandainya begitu. Tapi jika datang Ali Thantawi,
dengan lantang ia berkata, semuai ini adalah kesalahan, ini merupakan
penghinaan terhadap nabi, mengapa kalian berbicara soal matanya, perutnya,
kakinya, soal bibirnya. Apakah ini petunjuk nabi.? Sungguh Hidayahnya ada dalam
petunjuknya, dalam qur'annya. Maka sejurus kemudian manusia terbagi menjadi dua
kubuh, antara pelaku bid'ah dan ahlussunnah. Syaikh Ali lalu keluar
meninggalkan tempat perayaan dan orang-orangpun keluar bersamanya meninggalkan
perayaan tersebut dalam jumlah yg banyak (Hayaatul Insaan)
Mu'min Diraniyah mengatakan, "Ketika beliu masih duduk dibangku sekolah
dasar, sekolahnya biasa mengadakan kegiatan
menyampaikan pidato di pagi hari dihadapan kepada sesama murid. Pada hari yang
menjadi giliran Ali kecil bertepatan dengan kunjungan seorang juru runding
perancis, diapun menyampaikan pidato yang dengan keras menyerang orang-orang
prancis dan mengajak yang hadir agar menghentikan kegiatan penyambutan atas
juru runding itu. Dia memprovokasi masa untuk tidak menghadiri penyambutan sang
juru runding. Ungkapan jujur yang keluar dali mulut Ali kecil itu ternyata
mendapat respon dari sebagian gurunya, mereka akhirnya menolak menghadiri acara
penyambutan juru runding Perancis itu, sebagai ganjarannya Thantawi kecil pun
harus menerima pengurangan nilai akhlak dan suluk sebagai hukuman atas
keberaniannya" (Hayaatul Insaan)
Dan Diapun Pergi.......
Dan Diapun Pergi.......
Diusianya
yang ke delapan puluh, mulailah terlihat peluh dan letih dari wajah
beliau. Rasa letih itu jualah yang membuat ia memilih berhenti dari berbagai
acara di Radio dan Televisi serta memilih untuk tinggal menetap dirumahnya,
kondisi ini membuat rumahnya berubah bak sebuah Nadwah (balai pertemuan) tempat
mendiskusiakan berbagai hal yang mencakup masalah-masaalah bahasa , fikih dan Sejarah.
Pada hari Jum'at tanggal 4 Rabi'ul awwal 1420 H bertepatan dengan 18 Juni 1999
beliau menutup usia RS Malik Fahd Jeddah dan dishalatkan di Haram Makki pada hari
berikutnya selepas shalat Ashar Sabtu 19 Juni 1999 M. Kepergiannya menjadi
topik utama diberbagai media. Ungkapan belasungkawapun datang dari berbagai
penjuru. Pena-pena sastrawan tergerak menggubah syair-syair perpisahan, semua
seolah bercerita tentang namanya yang akan terus hidup dihati orang-orang yang
mencintainya. Rahimakallahu ya Syaikh……
"Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ia
hanyalah perpindahan menuju alam yang lebih luas serta kehidupan yang lebih
panjang (abadi) (dari dunia ini).
Semua tak ubahnya seperti perpindaahan janin yang
melalui proses kelahiran menuju dunia ini.
Sungguh setelah kematian, ada kehidupan yang
menyuguhkan kebahagiaan dan penderitaan,
serta kegembiraan dan penyesalan.
Hanya orang gila yang meragukan akan adanya
kehidupan yang lain (di akhirat) dan berusaha mendebatnya atau berkata:
" Kehidupan tidak lain hanyalah kehidupan
dunia, kita mati dan hidup dan kita tidak akan dibangkitkan lagi (QS:
Al-Mu'minun: 37)
(Fushuulun Islaamiyah Hal:66)
Karya Beliau.
Selama hidup beliau telah menulis lebih dari 15.000 artikel. Sebagian telah
dicetak hingga berulang kali. Keindahan karya beliu terletak pada bahasanya
yang mudah dengan tetap mempertahankan konsep philology sastra arab yang tinggi. Itulah yang membuat penulis membeli seluru karyanya tanpa terkecuali. Banyak sastrawan yang menilai bahwa beliau rahimahullah termasuk ulama yang sukses membawa ruh sastra kedalam dunia
fiqih sebagaimana Ibnu Qutaibah dalam dunia Hadits.
Diantara karya beliu adalah:
Diantara karya beliu adalah:
ذكريات 1-8
فتاوى
تعريف عام بدين الإسلام
أبو بكر الصديق
أخبار عمر وأخبار عبد الله بن عمر
الجامع الأموي في دمشق
هتاف المجد
في سبيل الإصلاح
دمشق (صور من جمالها، وعبر من نضالها)
فكر ومباحث
بغداد (مشاهدات وذكريات)
فصول إسلامية
مقالات في كلمات ج1
مقالات في كلمات ج2
من نفحات الحرم
صيد الخاطر للإمام بن الجوزي، تحقيق الطنطاويين
حكايات من التاريخ (جابر عثرات الكرام، المجرم ومدير الشرطة، التاجر والقائد، قصة الأخوين، وزارة بعنقود عنب، ابن الوزير)
أعلام التاريخ (عبد الرحمن بن عوف، عبد الله بن المبارك، القاضي شريك، الإمام النووي، أحمد بن عرفان الشهيد)
قصص من التاريخ
رجال من التاريخ
صور وخواطر
مع الناس
قصص من الحياة
من حديث النفس
صور من الشرق في اندونسيا
فتاوى
تعريف عام بدين الإسلام
أبو بكر الصديق
أخبار عمر وأخبار عبد الله بن عمر
الجامع الأموي في دمشق
هتاف المجد
في سبيل الإصلاح
دمشق (صور من جمالها، وعبر من نضالها)
فكر ومباحث
بغداد (مشاهدات وذكريات)
فصول إسلامية
مقالات في كلمات ج1
مقالات في كلمات ج2
من نفحات الحرم
صيد الخاطر للإمام بن الجوزي، تحقيق الطنطاويين
حكايات من التاريخ (جابر عثرات الكرام، المجرم ومدير الشرطة، التاجر والقائد، قصة الأخوين، وزارة بعنقود عنب، ابن الوزير)
أعلام التاريخ (عبد الرحمن بن عوف، عبد الله بن المبارك، القاضي شريك، الإمام النووي، أحمد بن عرفان الشهيد)
قصص من التاريخ
رجال من التاريخ
صور وخواطر
مع الناس
قصص من الحياة
من حديث النفس
صور من الشرق في اندونسيا
Sekian.
Wallahu ta'ala a'lam
Aan Chandra Thalib El-Gharantaly.
Madinah Al-Munawwarah, 12-06-1434 H
Assalamu'alaikum ustadz.. Saya penasaran ustadz, ttg asy'ari maturidi.. Bgmn cirinya? Apakah ust pernah menulis kajian thdp mazhab/fikrah2 spt itu atau ust bs tunjukkan pd saya referensi yg terpecaya.. trmkasih ustadz. Jazakallah khairan
AntwortenLöschenSubhanallah
AntwortenLöschenSubhanallah
AntwortenLöschenRahimahullahu ta'ala rahmatan waasi'an
AntwortenLöschen