Definisi Riba
Pada hakikatnya sulit merangkum berbagai
jenis riba dalam sebuah definisi yang pas. Hal itu dikarenakan antara
satu jenis riba dengan jenis yang lain kadang sulit untuk dibedakan.
Secara bahasa riba
bermakna tambahan atau sesuatu yang menjadi tinggi (mishbahul muniir hal: 217).
Adapun Menurut istilah riba bermakna tambahan
apa saja terhadap hutang akibat adanya penangguhan tempo atau penambahan
dalam pertukaran barangan barang ribawi.
Komoditas ribawi tersebut tercantum dalam hadits Abu Said Al-Khudry
–radhiallahu anhu- yang diriwayatkan oleh imam muslim. Rasulullah shallahu
alaihi wasallam bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr
dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam
harus sama (timbangannya), tangan dengan tangan (Tunai dan serah terima
ditempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia jatuh dalam riba,
yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.”
Hukum Riba
Para Ulama
sepakat bahwa riba hukumnya haram berdasarkan dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah
serta Ijma kaum muslimin.
Dalil dari
Al-Qur`an di antaranya adalah firman Allah yang atinya:
“Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam
firman-Nya yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Adapun
dalil dari As-Sunnah di antaranya:
Hadits Abu
Hurairah –radhiallahu anhu-
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jauhilah olehmu tujuh dosa besar yang
akan menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka).’ Para sahabat bertanya, ‘Ya
Rasulullah, apakah dosa-dosa itu?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan,
memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan,
dan menuduh wanita mukmin yang menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia
telah zina).’" (HR. Muttafaqun 'alaihi)
Juga
Hadits Abu Juhaifah –radhiallahu anhu- :
“Semoga Allah melaknat
pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Komoditas Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri –radhiallahu anhu-, bahwa Rasulullah
–shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma
dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), tangan dengan
tangan (Tunai dan serah terima ditempat). Barangsiapa menambah atau minta
tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal
ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Hadits
lain yang semakna juga menyebutkan enam komoditas diatas, yaitu hadits Umar
–radhiallahu anhu- yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim serta
hadits Ubadah bin Ash-Shamit –radhiallahu anhu- dalam riwayat Muslim. Dapat
disimpulkan bahwa komoditas riba adalah:
1. Emas
2. Perak
3. Burr
(suatu jenis gandum)
4. Sya’ir
(suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam
Selanjutnya para ulama berbeda pendapat, apakah komoditas ribawi terbatas pada
enam komoditas di atas, ataukah bisa diqiyaskan pada barang-barang lainnya?
Kalangan
Dzahiriyah melihat bahwa barang diatas tidak dapat diqiyaskan dengan yang
lainnya. Sementara jumhur (mayoritas) ulama melihat bahwa barang-barang lain
dapat diqiyaskan dengan enam komoditas di atas bila ‘illat (sebab hukumnya)
sama. Pendapat terakhir Inilah yang paling kuat. Hal itu dikarenakan illat atau
sebab hukum yang ada pada enam komoditas diatas juga dimiliki oleh sejumlah
barang. Kesimpulan ini berdasarkan dalil qiyas yang juga merupakan dalil yang
mu'tabar yang bisa menjadi landasan teori setelah Al-Qur'an As Sunnah dan Ijma.
Pertanyaan:
Lalu apa Illat atau sebab hukum yang menjadi alasan berlakunya riba pada
enam komoditas diatas…??
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- menyimpulkan bahwa berlakunya
riba pada emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar dalam jual beli,
sedangkan empat komoditas lainnya karena statusnya yang masuk dalam kategori
bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni sebagai satu diantara sekian pendapat Hanabilah.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah- seorang ahli fiqih zaman
ini menyimpulkan bahwa: "Alasan berlakunya riba pada emas dan perak
dikarenakan keduanya adalah emas dan perak, baik sebagai alat untuk jual beli
atau tidak sebagai emas batangan ataupun perhiasan. Sedangkan pada empat
komoditi lainnya karena kesemuanya merupakan bahan makanan yang ditakar atau
ditimbang. (secara ringkas dari Syarhul mumti' jilid: 8 hal: 397)
Jenis-Jenis Riba
Mayoritas ulama
menyatakan bahwa riba bisa terjadi pada dua transaksi, yaitu dalam
transaksi utang (dain) dan dalam jual-beli (bai’). Keduanya biasa
disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’).
Mari kita tinjau satu persatu:
Riba Dain (Riba Dalam Hutang Piutang)
Dikenal dengan istilah
riba duyun, yaitu tambahan terhadap utang. Riba ini terjadi dalam utang-piutang
(qardh) atau pun dalam transaksi non tunai selain qardh, misalnya transaksi
jual-beli kredit (bai’ muajjal). Perbedaan antara utang yang muncul karena
qardh dengan utang yang muncul karena jual-beli terletak pada asal kedua
akad tersebut. Utang qardh muncul karena akad utang-piutang, yaitu meminjam
harta orang lain lalu diganti pada waktu yang lain. Sedangkan utang dalam
jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik
sebagian atau keseluruhan.
Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya si Afwan
mengajukan utang sebesar Rp. 100 juta kepada si Syukron dengan tempo pelunasan
selama satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si Afwan wajib
mengembalikan utang ditambah bunga 15% kepada si Syukron, maka tambahan 15%
tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Kasus lain yang masuk
dalam kategori riba duyun adalah, Jika kedua belah pihak menyepakati
ketentuan, dimana bila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu
maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan
utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau
denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua inilah yang secara khusus
disebut riba jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski
asalnya merupakan transaksi qardh (utang-piutan).
Sementara riba utang yang muncul pada selain qardh (pinjam) contohnya
adalah apabila Pak Ahmad membeli motor kepada Pak Asep secara tidak tunai
dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak
berhasil dilunasi, maka tempo akan diperpanjang dan Pak Ahmad dikenai denda
berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.
Perlu difahami bahwa dalam
konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis
barang yang diutangkan. Riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang.
Sebagai contoh, jika si Afwan berutang dua liter bensin kepada si Syukron,
kemudian si Syukron menyarankan adanya penambahan satu liter saat
pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian
pula jika si Afwan berutang 1 kg buah apel kepada si Syukron, jika disyaratkan adanya
tambahan saat pengembalian sebesar 0,5 kg, maka tambahan tersebut merupakan
riba yang diharamkan.
Imam
al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, “kaum muslimin telah bersepakat
berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (shallallahu alaihi
wasallam) bahwa disyaratkannya tambahan dalam utang-piutang adalah riba, meski
hanya berupa segenggam makanan ternak”.
Mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang
harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah
dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap pinjaman yang
menghasilkan keuntungan maka keuntungan itu adalah riba”. Sebagai contoh,
apabila si Afwan bersedia memberi pinjaman uang kepada si Syukron dengan syarat
si Syukron harus meminjamkan kendaraannya kepada si Afwan selama satu bulan,
maka manfaat yang dinikmati si Afwan tersebut merupakan riba.
Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Riba Fadhl
adalah suatu bentuk transaksi tukar menukar barang ribawi dan yang sejenis
dengan adanya tambahan. Juga bisa diartikan sebagai tambahan kuantitas yang
terjadi pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5
gram ditukar dengan emas 5,5 gram
Riba nasi'ah adalah suatu bentuk transaksi tukar menukar barang
ribawi dengan mengakhirkan gantinya disertai tambahan sebagai imbalan atas
tempo atau penangguhan tersebut. Atau secara sederhana adalah riba yang
terjadi karena penundaan. Sebab nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau
penangguhan. contohnya utang dengan tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi
sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini
merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah
disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar
115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang
memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan
pertukaran barang sejenis yang disertai penambahan).
Sementara itu, dalam
konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak mengharuskan adanya
penambahan, sebab riba nasi'ah terjadi karena penundaan penyerahan barang
ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai. Baik kedua komoditi sejenis
maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak dengan
penangguhan, atau membeli perak dengan perak dengan penangguhan. Praktek
tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi
yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah
mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba
nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama
barang ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.
Kesimpulan
1. Riba bisa terdapat dalam utang dan juga transaksi jual-beli.
2. Riba dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati
sejak awal ataupun yang ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda.
Riba utang ini bisa terjadi dalam qardh (pinjam/utang-piutang) ataupun selain
qardh, seperti jual-beli kredit. Semua bentuk riba dalam utang tergolong riba
nasi’ah karena muncul akibat tempo (penundaan).
3. Riba dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak seimbang di
antara barang ribawi yang sejenis (seperti 10 gram emas ditukar dengan
5,5 gram emas). Jenis inilah yang disebut sebagai riba fadhl.
Riba dalam jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi
yang tidak kontan, seperti emas ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini
digolongkan ke dalam riba nasi’ah atau secara khusus disebut dengan istilah
riba yad.
Beberapa
Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
Pertama: Kwalitas barang tidak mempengaruhi hukum,
sehingga tidak diperbolehkan menjual korma yang berkualitas baik dengan korma
yang berkualitas buruk dengan takaran yang berbeda. Seperti menjual korma basah
dengan korma yang kering. Dikecualikan pada bai' araayah.
Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas
seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang
tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak
boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus,
karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak
setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus
dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan
barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya
haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah. Sebagian ulama yang secara
khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.
Kedua:
Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar
dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang
harus dipenuhi, yaitu takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan
kedua-keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Ketiga:
Pertukaran tidak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh
dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita
boleh menukar 10 gram emas dengan 30 gram perak atau dengan 40 gram perak
sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20
kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua
boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat
transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi
itu tidak boleh dilangsungkan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan
penyerahan barang ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah namun ada pula ulama
yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.
Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti emas
ditukar dengan kayu, maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang
dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang
ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh
menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan
kita juga boleh menukarnya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh
menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa
dan kedelai bukan barang ribawi.
Sekian, semoga bermanfaat
Bahan bacaan:
1.Mausuah Fiqhiyah Al Kuwaitiyah cetakan: Kementrian Kuwait cet: 1434 H
2.Ma la Yasa'uttajiru Jahluhu cetakan: Daarul Islam
3.Bidayatul Mujtahid cetakan: Daar Ibnu Hazm
5.Al Mughni cetakan Daarah Malik Abdul Aziz
6.Syarhul Mumti' cetakan: Daar Ibnul Jauzy
Semoga berkah ilmunya Gan
AntwortenLöschenhttp://pengertianterkini.blogspot.com/