Samstag, 1. Februar 2014

Fiqih Muamalah Bag. 2 (Pengertian, Klasifikasi Dan Contoh-Contoh Riba)



Definisi Riba

Pada hakikatnya sulit merangkum berbagai jenis riba  dalam sebuah definisi yang pas. Hal itu dikarenakan antara satu jenis riba dengan jenis yang lain kadang sulit untuk dibedakan.
Secara bahasa riba bermakna tambahan atau sesuatu yang menjadi tinggi (mishbahul muniir hal: 217). Adapun Menurut istilah riba bermakna tambahan apa saja terhadap hutang akibat adanya penangguhan tempo atau penambahan dalam pertukaran barangan barang ribawi. Komoditas ribawi tersebut tercantum dalam hadits Abu Said Al-Khudry –radhiallahu anhu- yang diriwayatkan oleh imam muslim. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: 

 “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), tangan dengan tangan (Tunai dan serah terima ditempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia jatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.”

Hukum Riba

          Para Ulama sepakat bahwa riba hukumnya haram berdasarkan dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah serta Ijma kaum muslimin.

Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah firman Allah yang atinya:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Juga dalam firman-Nya yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)

Adapun dalil dari As-Sunnah di antaranya:

Hadits Abu Hurairah –radhiallahu anhu- 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jauhilah olehmu tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka).’ Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah dosa-dosa itu?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan, dan menuduh wanita mukmin yang menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia telah zina).’"  (HR. Muttafaqun 'alaihi)

Juga Hadits Abu Juhaifah –radhiallahu anhu- :

“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)


Komoditas Riba

Dari Abu Sa’id Al-Khudri –radhiallahu anhu-, bahwa Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), tangan dengan tangan (Tunai dan serah terima ditempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)

Hadits lain yang semakna juga menyebutkan enam komoditas diatas, yaitu hadits Umar –radhiallahu anhu-  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim serta hadits Ubadah bin Ash-Shamit –radhiallahu anhu- dalam riwayat Muslim. Dapat disimpulkan bahwa komoditas riba adalah:

1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam

          Selanjutnya para ulama berbeda pendapat, apakah komoditas ribawi terbatas pada enam komoditas di atas, ataukah bisa diqiyaskan pada barang-barang lainnya?
Kalangan Dzahiriyah melihat bahwa barang diatas tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya. Sementara jumhur (mayoritas) ulama melihat bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam komoditas di atas bila ‘illat (sebab hukumnya) sama. Pendapat terakhir Inilah yang paling kuat. Hal itu dikarenakan illat atau sebab hukum yang ada pada enam komoditas diatas juga dimiliki oleh sejumlah barang. Kesimpulan ini berdasarkan dalil qiyas yang juga merupakan dalil yang mu'tabar yang bisa menjadi landasan teori setelah Al-Qur'an As Sunnah dan Ijma.

Pertanyaan: Lalu apa Illat atau sebab hukum yang menjadi alasan berlakunya riba pada  enam komoditas diatas…??

           Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-  menyimpulkan bahwa berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar dalam jual beli, sedangkan empat komoditas lainnya karena statusnya yang masuk dalam kategori bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni sebagai satu diantara sekian pendapat Hanabilah.  Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah- seorang ahli fiqih zaman ini menyimpulkan bahwa: "Alasan berlakunya riba pada emas dan perak dikarenakan keduanya adalah emas dan perak, baik sebagai alat untuk jual beli atau tidak sebagai emas batangan ataupun perhiasan. Sedangkan pada empat komoditi lainnya karena kesemuanya merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang.  (secara ringkas dari Syarhul mumti' jilid: 8 hal: 397)

Jenis-Jenis Riba
    
         Mayoritas ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi pada dua transaksi, yaitu dalam  transaksi utang  (dain) dan dalam jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:

Riba Dain (Riba Dalam Hutang Piutang)
     
         Dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu tambahan terhadap utang. Riba ini terjadi dalam utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi non tunai selain qardh, misalnya transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal). Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh dengan utang  yang muncul karena jual-beli terletak pada asal kedua akad tersebut. Utang qardh muncul karena akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain lalu diganti pada waktu yang lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya si Afwan mengajukan utang sebesar Rp. 100 juta kepada si Syukron dengan tempo pelunasan selama satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si Afwan wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15% kepada si Syukron, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
        
         Kasus lain yang masuk dalam kategori riba duyun adalah, Jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan, dimana bila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebut riba jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi qardh (utang-piutan).
Sementara riba utang yang muncul pada selain qardh (pinjam) contohnya adalah apabila Pak Ahmad membeli motor kepada Pak Asep secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi, maka tempo akan diperpanjang dan Pak Ahmad dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.
         
        Perlu difahami bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutangkan. Riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang. Sebagai contoh, jika si Afwan berutang dua liter bensin kepada si Syukron, kemudian si Syukron menyarankan adanya penambahan satu liter saat pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian pula jika si Afwan berutang 1 kg buah apel kepada si Syukron, jika disyaratkan adanya tambahan saat pengembalian sebesar 0,5 kg, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.

       Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, “kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (shallallahu alaihi wasallam) bahwa disyaratkannya tambahan dalam utang-piutang adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.
Mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan maka keuntungan itu adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si Afwan bersedia memberi pinjaman uang kepada si Syukron dengan syarat si Syukron harus meminjamkan kendaraannya kepada si Afwan selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si Afwan tersebut merupakan riba.

Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah

         Riba Fadhl adalah suatu bentuk transaksi tukar menukar barang ribawi dan yang sejenis dengan adanya tambahan. Juga bisa diartikan sebagai tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram
Riba nasi'ah adalah suatu bentuk transaksi tukar menukar barang ribawi dengan mengakhirkan gantinya disertai tambahan sebagai imbalan atas tempo atau penangguhan tersebut.  Atau secara sederhana adalah riba yang terjadi karena penundaan. Sebab nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan. contohnya utang dengan tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis yang disertai penambahan).

         Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak mengharuskan adanya penambahan,  sebab riba nasi'ah terjadi karena penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai. Baik kedua komoditi sejenis maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak dengan penangguhan, atau membeli perak dengan perak dengan penangguhan. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.

Kesimpulan

1. Riba bisa terdapat dalam utang dan juga transaksi jual-beli.
2. Riba dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati sejak awal ataupun yang ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda. Riba utang ini bisa terjadi dalam qardh (pinjam/utang-piutang) ataupun selain qardh, seperti jual-beli kredit. Semua bentuk riba dalam utang tergolong riba nasi’ah karena muncul akibat tempo (penundaan).
3. Riba dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak seimbang di antara barang ribawi yang sejenis (seperti 10 gram emas ditukar dengan  5,5 gram emas). Jenis inilah yang disebut sebagai riba fadhl.
Riba dalam jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi yang tidak kontan, seperti emas ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini digolongkan ke dalam riba nasi’ah atau secara khusus disebut dengan istilah riba yad.


Beberapa Kaidah Seputar Dua Jenis Riba

Pertama: Kwalitas barang tidak mempengaruhi hukum, sehingga tidak diperbolehkan menjual korma yang berkualitas baik dengan korma yang berkualitas buruk dengan takaran yang berbeda. Seperti menjual korma basah dengan korma yang kering. Dikecualikan pada bai' araayah.
Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah. Sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.

Kedua: Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua-keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.

Ketiga: Pertukaran tidak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita boleh menukar 10 gram emas dengan 30 gram perak atau dengan 40 gram perak sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilangsungkan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah namun ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.

Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti emas ditukar dengan kayu,  maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh menukarnya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai bukan barang ribawi.

Sekian, semoga bermanfaat


Bahan bacaan:
1.Mausuah Fiqhiyah Al Kuwaitiyah cetakan: Kementrian Kuwait cet: 1434 H
2.Ma la Yasa'uttajiru Jahluhu cetakan: Daarul Islam
3.Bidayatul Mujtahid cetakan: Daar  Ibnu Hazm
5.Al Mughni cetakan Daarah Malik Abdul Aziz
6.Syarhul Mumti' cetakan: Daar Ibnul Jauzy






1 Kommentar: