Freitag, 28. Februar 2014

Biografi Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqity

Nama beliau adalah Syaikh Al Allamah Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar As Syinqity –hafidzahullah-. Dilahirkan pada tahun 1381 H di Madinah Al-Munawwarah. Ayah beliau As syaikh Al Allamah Muhammad Al Mukhtar As Syinqity (wafat: 1405H) adalah seorang ulama besar, ahli fiqih, hadits, sastra dan Ilmu nasab. (1) Pendidikan formalnya baik ditingkat SMP SMA hingga perguruan tinggi  diselesaikan di Universitas Islam Madinah. 

Setelah menyelesaikan pendidikan strata satu di tahun 1403 H beliau diminta untuk menjadi dosen pembantu. Tugas itu ditunaikannya dengan baik hingga beliau menyelesaikan pendidikan Doktoral dengan judul desertasi,"Ahkaam Al Jiraahah At Tibbiyah Wal Atsar Al Mutarattibah alaiha". Sebuah desertasi yang membahas seputar hukum islam yang berhubungan dengan tindakan operasi dalam dunia medis. Berkat taufiq dari Allah desertasi beliau meraih predikat summa cumlaude dan Madinah Award untuk bidang penelitian ilmiah. hingga kini desertasi tersebut telah dicetak berulang-ulang. 
 

Kehidupan Ilmiah.

Saat ditanya perihal masa-masa menuntut ilmu, beliau menjawab: "Hakikatnya berbicara tentang diri sendiri merupakan sesuatu yang kurang baik. Namun bila harus, maka saya akan menceritakannya, semoga Allah tidak menghukumi saya karena telah mengisi majelis ini dengan kisahku, Hasbunallah wani'mal wakiil. Adapun tentang perihal masa menuntut llmu dulu, maka aku memohon semoga Allah membalas kebaikan ayahku dengan segala kebaikan. 
Aku bersyukur kepada Allah yang telah membuat Ayahku melakukan banyak hal untukku. Beliau rahimahullah selalu mengajak kami -anak-anaknya- ke majelis beliau baik dimasjid nabawi atapun dirumah. Saat memberi pelajaran, aku sering tertidur dipangkuannya, waktu itu aku masih terlalu kecil. 

Di masjid Nabawi ayah menyampaikan pelajaran 5 kali sehari setiap selesai sholat fardhu. kecuali ba'da ashar, terkadang beliau mengkhususkan majelis khas dirumahnya. Saat usiaku memasuki 15 tahun beliau menyuruhku untuk duduk disisnya sebagai qori' membacakan pelajaran untuknya di Masjid Nabawi. Aku tau beliau sedang menguji mentalku membaca dihadapan orang banyak, beliau yakin aku bisa melakukannya, semoga aku seperti yang diharapkannya. 

Di majelisnya, aku memulai pelajaranku dengan membaca kitab Sunan At-Tirmidzi. Kemudian dilanjutkan dengan Muwattho hingga selesai. Setelah itu dilanjutkan dengan sunan Ibnu Majah, namun aku tidak menyelesaikannya, karena ajal lebih dulu menjemputnya. Semoga Allah menetapkan pahala yang sempurna untuknya. Ini khusus pelajaran sebelum maghrib. Setelah pelajaran selesai biasanya penuntut ilmu yang lain akan membaca berbagai matan, mulai dari yang bertemakan bahasa, fiqih dll.  Aku turut hadir dan memperhatikan penjelasannya.

Setelah Isya, Aku melanjutkan pelajaran dengan membaca Shohih muslim bersamanya. Setelah mengkhatamkannya, Aku membacanya dari awal lagi, namun beliau wafat sebelum aku menyelesaikannya. Diantara hal yg menakjubkan, beliau meninggal ketika pelajaran telah memasuki  bab Fadl Al Maut Waddafnu fil Madinah (Bab Keutamaan Meninggal dan dikebumikan di Madinah).

Aku ingat waktu itu, diakhir pelajaran beliau berdo'a, padahal bukan merupakan kebiasaannya untuk berdo'a apabila melewati bab ini. Aku telah membaca hadits -keutamaan wafat dan dimakamkan dimadinah- tersebut untuknya sebanyak empat kali dari shohih bukhori, seingatku beliau tidak pernah berdo'a (secara khusus) diakhir majelisnya. Saat itu beliau dalam keadaan sehat tak ada tanda-tanda sakit. Setelah menjelaskan hadits keutaman meninngal di Madinah dan menukilkan perkataan sahabat seputar masaalah ini, beliau lalu berdo'a, "Aku memohon kepada Allah agar Dia tidak mengharamkan nikmat tersebut untuk kita" serentak para hadirin mengaminkan do'a tersebut. Karena banyaknya hadirin yang mengaminkan do'a tersebut, sampai-sampai ucapan amin mereka seperti ucapan aminnya para makmun Masjidil haram  diwaktu sholat.

Begitulah, Setelah fajar, beliau menyampaikan kajian hingga matahari terbit sepenggalah. Barulah setelah sholat dzuhur aku mengkaji Shohih Bukhori bersamanya sampai aku mengkhatamkannya. Setelah khatam, Aku memulainya dari awal lagi, namun untuk kali kedua aku tak sempat menyelesaikanya.

Adapun jadwal belajar khusus disisi beliau, maka aku mempelajari Matn Ar Risaalah hingga selesai ditambah dengan membaca sebagian besar masaalah dari kitab Bidaayatul Mujtahid. Aku selalu mencatat penjelasan Ayah. Yang kukagumi darinya, beliau –rahimahullah- memiliki pengetahuan yang luas tentang Ilmu khilaf (Ilmu tentang perbedaan pendapat ulama). Akan tetapi ketawadhu'an dan sifat wara' membuat beliau enggan merojihkan pendapat tertentu.

Di bidang Ushul, aku juga belajar darinya, namun beliau tidak terlalu suka karena banyaknya perdebatan, masaalah mantiq yang dimana diatas itulah ilmu ushul dibangun. Aku ingat apabila pembahasan Ushul mulai memasuki ranah mantiq beliau selalu berkata, "Berdirilah" sambil mendorongku. Karena beliau menilai ilmu tersebut (mantiq) haram untuk dipelajari, dan ini merupakan pendapat sebagian ulama. Walaupun Syaikhul Islam sendiri merinci permasaalahan ini.

Selanjutnya Syeikh berkata :

Ringkasnya aku tidak mempelajari ilmu usul secara komprehensif darinya. Untuk menyempurnakan pelajaran Ushul tersebut, aku mempelajarinya pada ulama lain yang menguasai dengan baik bidang ini (Khilaf, Jadal dan Mantiq)

Dibidang Mustholah aku mengkaji beberapa mandzumah disisi beliau. diantaranya Matan Al baiquniyah dan Thal'atul anwar. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Tadriib Ar-Roowi.

Demikian secara ringkas yang bisa saya tangkap dari penjelasan beliau yang direkam oleh salah seorang ikhwah. Transkipnya bisa dilihat di islamway.com.


Syaikh Dan Buku
Syaikh -hafidzahullah-  memiliki perpustakaan besar yang merupakan warisan sang ayah. Di dalam perpustakaan tersebut terdapat berbagai macam buku cetakan kuno dan sangat langka. Beliau dikenal sebagai orang yang kutu buku. Beliau betah  menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca dan muthaala'ah, hal itu dilakukannya baik saat muqim ataupun safar. Yang menakjubkan adalah kemampuan beliau dalam menghafal perkataan ulama. Syaikh Amir Qorowi mengatakan pada saya bahwa Syaikh -hafodzahullah- hafal kitab Al-I'lam Bifawaa'id Umdatul Ahkam (11 jilid) karya Ibu Al Mulaqqin –rahimahullah-.

Dikisahkan bahwa suatu kali ada seorang penuntut ilmu berdiskusi dengan syaikh dalam satu masaalah. Orang itu mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berpendapat begini dan begitu dalam masalah ini. Syaikhpun menjawab, "Aku telah membaca Majmu' Fatawa sebanyak tiga kali dan aku tidak pernah melewati perkataan tersebut". Suatu kali juga ada seseorang pernah menanyakan pada syaikh tentang masaalah  yang rumit dalam fiqih Hanbaly. Beliau mengatakan lihat penjelasannya secara rinci dalam Syarh Mukhtashar Al Khiraqy karya Az Zarkasyi. Pemilik kisah berkata, "Akupun terkejut, padahal buku tersebut baru saja dicetak untuk pertama kali. Betapa cepatnya beliau menguasai buku itu. 

Perpaduan antara kuatnya hafalan dan muthala'ah merupan dua hal yang mulai hilang dalam tradisi keilmuan penuntut ilmu masa kini.

Akhlak Beliau

Disamping dikenal dengan keilmuan yang tinggi, beliau juga dikenal dengan akhlaknya yang baik, serta ibadahnya yang tekun. Keilmuan syaikh tak diragukan lagi. Siapa yang ingin mengetahui kedalaman ilmunya silahkan mendengarkan rekaman kajian-kajian beliau. 

Para ulama besar di seantero Kerajaan mengakui keilmuannya. Penguasaannya yang baik terhadap perbedaan pendapat ulama membuat setiap orang takjub. Tak sekedar menguasai khilaf, namun beliau juga menguasai dalil dan ushul setiap madzhab. Pembaca akan dibuat semakin takjub apabila beliau  mulai berdialektika untuk mematahkan hujjah setiap madzhab yang marjuh dalam masaalah tertentu. Ala kulli haal, sulit bagi saya menggambarkan semua itu.
  
Bagi penulis, yang paling berkesan adalah kewibawaan majelisnya. Sebagai penghormatan beliau terhadap ilmu, Syaikh tidak suka bila melihat ada penuntut ilmu yang memainkan pena bila majelis sedang berlangsung. Beliau juga tidak suka ada yang meletakkan buku diatas lantai, atau memotong penjelasannya dengan pertanyaan. Beliau tdak suka mendengar bunyi hp dll yag bisa mengganggu kewibawaan majelis ilmu. 

Namun ada peristiwa yang sampai saat ini masih melekat jelas dalam ingatan penulis. Suatu hari saat beliau sedang menyampaikan pelajaran, ada seorang laki-laki tua yang datang menyalaminya, secara spontan beliau beranjak berdiri dari kursi lalu menghentikan penjelasannya untuk menyalami laki-laki tua itu dan mencium kepalanya sebagai tanda penghormatan.''

Murid beliau yang masih teman sekelas penulis Al Akh Muhaisin memperhatikan saya dan berkata, "Kamu kaget …? Hehe. Beliaupun menceritakan pada saya bahwa dulu ada seorang peminta-minta yang tiba-tiba mendatangi syaikh dikerumunan orang banyak, syaikh lantas memasukkan tangannya kedalam kantong dan mengambil semua isi kantongnya untuk orang tersebut tanpa memotong penjelasannya."

Padatnya rutinitas tak membuat syaikh melalaikan kewajibannya sebagai anak. Beliau sangat berbakti pada keduaorang tuanya. Beberapa dosen kami yang juga murid beliau pernah mengisahkan, "Suatu ketika, syaikh memiliki jadwal ta'lim di Jeddah, namun qaddarullah ibunya jatuh sakit, diapun berniat mengurungkan perjalanannya ke Jeddah.  Namun ibunya meminta agar syaikh pergi menyampaikan ta'lim disana, Syaikh pergi dan menuruti apa kata ibunya tanpa menolak sedikitpun. Setibanya di Jeddah beliau menyampaikn beberapa patah kata di dalam majelis lalu segera kembali menemui ibunya di Madinah.

Semangat Dan Kesabaran Beliau Dalam Berdakwah

Hari-hari beliau selalu disibukkan dengan ilmu, baik belajar ataupun mengajar. Sebelum ditetapkan sebagai Anggota Hai'ah Kibaar Ulama (Perhimpunan Ulama Besar) Syaikh –hafidzahullah- memiliki 3 Majelis, Majelis pertama hari Kamis di Masjid Nabawi membahas Kitab Umdatul ahkam. Majelis Kedua hari Selasa di Makkah membahas Kitab Zaad Al Mustaqni' dan Majelis Ketiga hari Rabu di Jeddah membahas kitab Sunan At Tirmidzi. Untuk menghadiri majelis-majelis tersebut Syaikh menyetir sendiri mobilnya, beliau tidak suka menyibukkan orang lain untuk melayani dirinya. 

Padatnya rutinitas ditambah jauhnya jarak yang harus ditempuh kerap kali membuat beliau jatuh sakit, namun itu tak menyurutkan semangatnya. Beliau tidak berhenti mengajar, terkadang beliau meminta muridnya untuk menemaninya dalam perjalanan, namun dengan syarat agar orang yang menemaninya tersebut mau bila ongkos perjalanannya ditanggung sepenuhnya oleh beliau.

Kesabaran ini tentunya merupakan karunia Allah, kemudian hasil didikan Ayahnya yang menjadi sekolah pertamama dan utama baginya baik dalam Ilmu, Amal, Akhlak dan Semangat Dakwah. Dalam dauroh Manasik Haji tahun lalu 1434 H, beliau menceritakan pada kami tentang kesabaran ayahnya dalam melayani penuntut ilmu dan umat. Beliau berkata, " Setiap hari Ayahku selalu pulang dengan wajah yang letih, itu karena beliau mengajar dalam 5 majelis setiap harinya. Ba'd al-Fajr, ba'da Ad Dzuhr, ba'da Al ashr, ba'da Al Maghrib dan ba'da al Isya, semua itu di masjid nabawi. Pelajaran baru berakhir apabila masjid nabawi akan ditutup. Setelah itu barulah beliau kembali kerumah dengan berjalan kaki. Ini Aku saksikan sendiri selama 10 tahun terakhir aku menemaninya. 

Setibanya dirumah aku mendatanginya untuk menanyakan beragam masaalah yang sulit aku fahami, ia tak pernah bosan melayaniku, ia tak pernah menampakkan rasa letihnya padaku. bahkan terkadang aku sampai berulang-ulang menanyakan masaalah yang sama hingga larut malam, namun beliau tetap saja melayaniku, ia tak pernah kesal apalagi menghardikku walau sekali saja". 

Aku pernah bertemu dengan seorang tua renta yang dulunya seorang tentara, saat dia mengetahui bahwa aku adalah putra syaikh beliau tiba-tiba menangis. Orang itu lalu mangatakan, "Dulu sekitar tahun 70 an  aku datang dari Baadiyah (dusun pedalaman) ke Masjid Nabawi . Saat aku tiba di Masjid Nabawi aku langsung mencari seseorang untuk menimbah ilmu. Waktu itu aku sangat haus dengan ilmu, aku bahkan tak tau bagaimana tatacara wudhu dan sholat, padahal umurku sudah 18 tahun. Aku menemui seorang syaikh, Aku sampaikan hajatku untuk menuntut ilmu, Aku ingin waktu khusus, sebab aku tidak seperti kebanyakan orang yang cepat mengerti. Rupanya aku datang tidak tepat waktu, diapun menolakku dan menghardikku dengan perkataan yang buruk.  Apakah tidak ada selainmu yang bisa ku ajari…??? Begitu katanya. Akupun hampir putus asa. Dihari kedua aku mendatangi masjid nabawi lagi, setelah shalat isya aku mendapati majelis ayahmu. Waktu itu ayahmu sedang mengkaji sunan An-Nasa'I dan Shohih Muslim. Setelah pelajaran usai, aku membuntuti ayahmu dari belakang hingga beliau tiba dirumah. Setibanya dirumah dia menyuruhku masuk. Aku langsung menyampaikan hajatku, "Wahai syaikh.. Aku  ingin belajar tentang Agama Allah.." Syaikh menjawab, "Ayo bismillah kita mulai sekarang.." 

Syaikh berkata, "Demi Allah ini bukan tazkiyah untuknya (sang ayah), namun beliau bagai sekolah yang mengajariku kesabaran dalam mengajari manusia. Suatu ketika ayah pernah berkata padaku, "Bila ada yang datang untuk menuntut ilmu,  maka bangunkan aku bila sedang tidur. Bila aku tengah makan panggillah.''. Para pembesar madinah dimasa itu sangat mencintainya, namun bila mereka datang untuk sekedar menyalami ayah, maka aku tidak akan membangunkannya dari tidur. Namun bila yang datang itu orang yang ingin bertanya seputar agama, meski bajunya compang-camping dipenuhi tambalan aku langsung membangunkan ayah. Tak terlihat wajah kesal darinya. Yang ada hanyalah wajah yang dipenuhi rasa gembira, karena kebahagiaanya terletak pada ilmu baik saat belajar ataupun mengajar. Keteladanan ini kami sebutkan walau tentunya Rasulullah adalah sebaik-baik teladan dalam hal ini, namun sebuah kisah yang dimana diri kita adalah bagian darinya terkadang  memberi arti yang lain dalam jiwa"
 
Demikianlah, semoga kisah ini memberi semangat baru pada kita dalam menuntut ilmu dan bersabar atasnya. 

Wallahu ta'ala a'lam

Catt:
Saat Ini Syaikh –hafidzahullah- Menjabat sebagai anggota Hai'ah Kibaar Ulama, juga merangkap sebagai Mufti Madinah Al Munawwaran dan pengajar tetap di Masjid Nabawi As Syarief.


Diselesaikan di Jeddah Jum'at 28-04-1435 H


(1)Bagi anda yang ingin mengenal ayah beliau lebih dekat silahkan merujuk ke kitab, Al Wasiith fi Taraajum Udabaa' Syinqiit".  Syaikh Bakr Abu Zaid sangat mengagumi keluasan ilmu Syaikh Muhammad Mukhtar. Bahkan beliau memasukkannya kedalam kumpulan biografi Ahli nasab dalam kitaab ,"Thabaqoot An Nassaabiin"
Syaikh berkata, "Beliau -rahimahullah- memiliki majelis di bulan ramadhan yang secara khusus membahas kitab Bidaayah Wa An-Nihaayah. Beliau sangat menguasai ilmu ini (sejarah). Syaikh Ustaimin –rahimahullah- pernah berkat padaku, Ayahmu termasuk orang yang hafal Bidaayah Wa An-Nihaayah.

Samstag, 15. Februar 2014

Fiqih Muamalah Bag 1 (Jual Beli (al-Bai’)

Jual beli adalah  pembahasan terpenting dalam ilmu fiqih setelah bab ibadah. Tak heran bila  ulama terdahulu menjadikannya standar  kompetensi terhadap kematangan fiqih seseorang .  Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar As Syinqity –hafidzahullah pernah mengatakan, "Para ulama terdahulu apabila ingin mengetehui kedalam fiqih seseorang, mereka akan melihat kompetensinya dalam masaalah muamalah. Meskipun masaalah ibadah  memiliki kekhususan tersendiri, namun kefaqihan mereka akan nampak berbeda dalam menyelesaikan persoalan muamalah. Hal tersebut karena bab muamalat memerlukan kecermatan dan ketelitian yang lebih dimana dengannya seorang faqih bisa dibedakan ". Siapapun kita dan sebagai apapun sangat dianjurkan untuk mempelajari bab ini, karena dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari aktifitas jual beli, baik sebagai penjual ataupun pembeli.  Pada rubrik muamalah  kali ini penulis  mencoba merangkum  untuk sidang pembaca masaalah-masalah pokok dalam jual beli. Penulis sadar bahwa tulisan ini tidak bisa merangkum berbagai masaalah yang berhubungan dengan jual beli secara terperinci. Namun  penulis berharap agar tulisan ini setidaknya bisa menambah wawasan keilmuan sidang pembaca seputar  jual-beli.


1. Pengertian Jual Beli

Jual-beli menurut bahasa berasal dari kata باع - يبيع yang artinya مبادلة الشىء بالشيء (menukar sesuatu dengan sesuatu) (lihat Al-Mishbah). Dalam bahasa arab kata jual-beli juga dapat diartikan sebagai al-Tijarah (perdagangan), sebagaimana firman Allahsubhanahu wa ta'la:

يرجون تجـارة لن تبورا
 
yang artinya :
 
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi” (Fathir: 29)
Adapun menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Menurut  Imam Nawawi  jual beli adalah Pertukaran harta dengan harta yang dilakukan dengan mekanisme khusus (Syarh Ar-Raudh jilid: 2 hal: 2).
Sedangkan menurut  Imam Ibnu Qudamah jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberikan kepemilikan. (Al-Mughni wa As-Syarhul Kabiir jilid: 4 hal: 2)

Dari dua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa  jual beli adalah sebuah aktifitas tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima sesuatu dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah ditetapkan syara’.

2. Landasan hukum disyariatkannya jual-beli
Jual beli disyariatkan berdasarkan al-Quran, a-Sunah, dan Ijma:
a.    a.  Al-Quran :

     وأحلّ الله البيع وحرّم الربا

 “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.Al-Baqarah : 275)

b. As-Sunah :

  سئل النبي صلى الله عليه وسلم أيّ  الكسب أفضل : قال عمل الرّجل بيده وكلّ بيع مبرور.

Artinya :
Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, "Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur." (HR. Ahmad jilid: 4 hal: 141)

c. Ijma’

Para ulama sepakat bahwa jual beli disyariatkan.  Alasannya karena manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya tersebut harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. (Mausu'ah Al Fiqhiyah Quwaitiyah jilid: 9 hal: 8)

3. Rukun Jual Beli

1.      Pihak yang melakukan transaksi jual beli
2.      Ma`qud `alaihi (Objek akad)
3.      Shighah (pernyataan ijab-qobul)

4. Syarat-syarat Jual Beli :
1.      Adanya ridho Antara dua pihak yang melakukan transaksi (penjual dan pembeli)
2.      Orang yang melakukan transaksi jual beli adalah seorang yang baligh, berakal, merdeka.
3.      Penjual adalah pemilik barang yang akan dijual atau yang menduduki posisi kepemilikkan barang, seperti orang yang diwakilkan untuk menjual suatu barang.
4.      Barang yang di jual adalah barang yang mubah  dan bermanfaat, seperti  makanan dan minuman yang halal dan bukan barang yang haram seperti khamr (minuman yang memabukkan), alat musik, bangkai, anjing, babi dan yang lainnya.
5.      Barang yang dijual atau yang dijadikan objek transaksi bisa diserah terimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak bisa diserahterimakan. Seperti menjual barang yang tidak ada, transaksi ini masuk dalam kategori jual beli gharar (penipuan). Atau menjual ikan yang ada di dalam air, burung yang masih terbang di udara.
6.      Barang yang dijual adalah sesuatu  yang diketahui penjual dan pembeli, baik dengan melihatnya atau dengan memberi informasi tentang sifat-sifat atau spesifikasi barang tersebut.  Ketidaktahuan kedua belah pihak atas barang yang dijadikan objek transaksi merupakan bentuk  gharar yang dilarang.
7.       Harga barangnya diketahui,  dengan bilangan nominal tertentu.

5. Klasifikasi jual beli

Jual beli dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis di antaranya:

5.1. Klasifikasi Jual Beli Ditinjau Dari Objek Dagang

Ditinjau dari objek dagang jual beli dibagi menjadi tiga jenis:
Pertama: Jual beli yang sifatnya umum, yaitu menukar uang dengan barang.
Kedua: Jual beli ash-sharf , yakni penukaran mata uang dengan mata uang lainnya.
Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni tukar menukar barang dengan barang.
5.2.  Klasifikasi Jual Beli Ditinjau dari Metode Standarisasi Harga

Pertama
: Jual beli Musaawah=Tawar-menawar  (Bargainal). Yakni jual beli di mana pihak penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya kepada pihak pembeli.

Kedua: Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara dimana penjual menawarkan barang dagangannya, kemudian para pembeli saling memberikan penawaran dengan cara menambah jumlah pembayaran atau harga dari penawar sebelumnya, selanjutnya si penjual akan menjual barang tersebut pada pembeli yang bersedia memberikan bayaran lebih tinggi.

Kebalikan dari bentuk traksaksi jual beli ini adalah jual beli munaqadhah (obral). Dimana si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagangannya, selanjutnya si pembeli akan membeli dengan harga yang paling murah dari  harga yang ditawarkan para penjual.

Ketiga: Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual memberitahukan harga modal jualannya. Jual beli jenis ini terbagi lagi dalam tiga jenis:

1. Jual beli murabahah. Yakni jual beli dimana modal dan keuntungan diketahui.

2. Jual beli wadhi"ah. yakni jual beli dengan harga di bawah modal dengan jumlah kerugian yang diketahui.

3. Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan cara menjual barang  sesuai dengan harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian. (Mausu'ah Al Fiqhiyah Al-Quwaitiyah jilid: 9 hal: 9)

Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Jual beli Isyrak adalah dimana penjual menjual sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti harga barang dan cara tawar menawar.
(Ma laa yasa'u Attajiru jahluhu cet: Daar Islam hal: 85)
5.3. Pembagian Jual Beli Ditinjau dari Cara Pembayaran

Ditinjau dari  cara pembayaran, jual beli terbagi menjadi empat macam:

Pertama: Jual beli dimana penyerahan barang dan pembayarannya dilakukan secara tunai. Jual beli ini juga disebut dengan bai' naqd
Kedua: Jual beli dengan pembayaran tertunda atau disebut juga dengan bai' nasi'ah
Ketiga: Jual beli dimana penyerahan barang tertunda atau disebut juga dengan bai' salam
Keempat: Jual beli dimana penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

5.4. Klasifikasi jual beli ditinjau dari status komoditas dagang

1.  Menjual barang yang dapat dilihat (ada ditempat transaksi). Hukumnya boleh jika barang yang dijual tersebut suci, bermanfaat serta memenuhi rukun jual beli.

2.  Menjual sesuatu yang ditentukan sifatnya namun diserahkan kemudian. Ini adalah jenis “salam” (pembayarannya lebih jual beli ini tidak boleh dulu), hukumnya boleh.

3.  Menjual barang yang tidak ada dan tidak dapat dilihat baik oleh penjual maupun pembeli atau salah satu dari kedua belah pihak. Atau barangnya ada, namun tidak diperlihatkan pada pembeli. Maka jual beli ini tidak diperbolehkan, karena penjualan barang yang diketahui sifatnya mastuur (tidak dapat dilihat) dilarang karena mengandung unsur gharar (penipuan).

6. Jual beli terlarang

1. Jual beli gharar ( الغرر)
Adalah jual beli yang mengandung unsur  penipuan, pemalsuan dan penghianatan. Dalil pelarangan jual beli jenis ini adalah hadits Abi Hurairah –radhiallahu anhu- yang diriwayatkan oleh Muslim:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر.

Artinya: "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli gharar

2. Jual beli mulaqih (الملاقيح)
Adalah jual beli hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum si jantan bersetubuh dengan betina.  Dasar pelarangan terhadap jual beli jenis ini adalah hadist Abu Hurairah –radhiallahu anhu- yang diriwayatkan oleh al-Bazzar:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المضامين والملاقيح

"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang jual-beli madhaamin dan mulaaqih"

3. Jual beli mudhamin (المضامين) Adalah jual beli hewan yang masih dalam perut induknya,

4. Jual beli muhaqolah (المحاقلة) Adalah jual beli buah buahan yang masih ada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan.

5. Jual beli munabadzah (المنابذة) Contohnya seperti perkataan penjual pada pembeli, "Pakaian mana saja yang engkau lemparkan padaku berarti telah engkau beli dengan harga sekian dan sekian.

6. Jual beli mukhabarah (المخابرة) Adalah muamalah dengan cara meminjamkan tanah yang imbalannya diambil dari apa yang dihasilkan oleh tanah tersebut.

7. Jual beli tsunya (الثنيا) Adalah jual beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak jelas.

Kelima jenis transaksi diatas diharamkan berdasarkan hadits berikut:

عن جابر بن عبد الله ان رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن المخابرة والمحاقلة والمزابنة وعن بيع الثمرة حتى تطع ولا تباع الا بالدراهم والدنانير الا العرايا قال عطاء فسر لنا جابر قال اما المخابرة فالارض البيضاء يدفعها الرجل إلى الرجل فينفق فيها ثم يأخذ من الثمر وزعم ان المزابنة بيع الرطب في النخل بالتمر كيلا والمحاقلة في الزرع على نحو ذلك يبيع الزرع القائم بالحب كيلا

Dari Jabir –radhiallahu anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasalam- melarang jual beli mukhabarah, muhaqalah, muzabanah, juga melarang menjual buah hingga layak untuk dimakan, & melarang membeli melainkan dgn dinar atau dirham kecuali jual beli 'araya. Atha` berkata; Jabir -radhiallahu anhu- menjelaskan kepada kami, bahwa mukhabarah adalah menyewakan tanah gersang dengan mengambil upah  berupa hasil tanaman dari tanah tersebut,  Dia menjelaskan juga bahwa muzabanah ialah jual beli kurma basah dgn kurma kering dgn takaran yg sama, Muhaqalah ialah jual beli tanaman yg masih di pohon dgn biji-bijian yg ditakar. (HR. Muslim: 2856)

8. Jual beli asb al-fahl (عسب الفحل)  Adalah memperjual belikan bibit pejantan hewan untuk dibiakkan didalam rahim hewan betina agar mendapatkan anak. Larangan tersebut berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan Muslim juga hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu‘anhuma riwayat Al-Bukhari.

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن عسب الفحل

"Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang asb al-fahl" (HR. Bukhori lihat: Fathul Baari' jilid: 4 hal: 461)

Asbil Fahl diharamkan karena air hewan jantan tak diketahui kadar & ukurannya, juga tidak diketahui apakah akan menghasilkan buah atau tidak sehingga semua kemungkinan ini masuk dalam kategori gharor.

9. Jual beli mulamasah (الملامسة) Adalah jual beli antara dua pihak, yang satu diantaranya menyentuh pakaian pihak lain yang diperjual-belikan waktu malam atau siang.

Catatan: Para ulama berselisih pendapat tentang makna mulamasah, ada beberapa pendapat di antaranya: 


a.       Penjual membawa pakaian yang hendak dijualnya dalam keadaan terlipat atau di tempat yang gelap lalu si penawar menyentuhnya lalu penjual berkata kepadanya, "Aku jual pakaian ini kepadamu dengan syarat engkau tidak perlu melihatnya cukup menyentuhnya saja (menyentuhnya sama dengan melihatnya)."  
b.    Penjual mensyaratkan sentuhan tersebut sebagai batas berakhirnya hak khiyar (pilih) bagi si pembeli.
 
Imam Al-Baghawi mengatakan, "Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang hukum barter. Sebagian ulama menggolongkannya sebagai bentuk jual beli menurut pengertian yang berlaku di antara manusia". (Syarhus Sunnah jilid: 8 hal: 130),  Beliau juga mengatakan "Larangan jual beli mulamasah merupakan dalil bahwa transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang buta adalah bathil (tidak sah), karena ia tidak bisa melihat barang yang diperjual behkan." (Syarhus Sunnah jilid: 8 hal: 130)

Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila orang buta tersebut dapat mengetahui barang yang dijual dengan cara menyentuhnya atau menciumnya atau ada orang lain yang menyebutkan karakter barang tersebut kepadanya maka hukumnya dapat disamakan seperti melihatnya, sehingga transaksi jual beli yang dilakukannya dianggap sah, dan inilah pendapat yang kuat. wallaahu a'lam."

10. Jual beli munabadzah  (المنابذة) Adalah jual beli dengan melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek jual beli.

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن الملامسة والمنابذة

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli mulamasah dan munabadzah,' (HR Bukhari: 2144 dan Muslim: 1511).
Hadits yang semakna juga diriwayatkan  dari Abu Sa'id al-Khudri radhiallahu anhu (HR Bukhari: 2144 dan Muslim: 1512). Juga oleh anas Anas bin Malik radhiallahu anhu (HR Bukhari: 2207).
Catatan: Para ulama berselisih pendapat tentang makna munabadzah, ada beberapa pendapat di antaranya: 

a.    Menjadikan lemparan sebagai transaksi jual beli. Misalnya si (x) melempar barangnya kepada si (z) dan si (z) juga melempar barangnya kepada si (a). 
b.     Menjadikan lemparan sebagai transaksi jual beli tanpa didahului dengan tawar menawar harga. 
c.      Menjadikan lemparan sebagai tanda berakhirnya batas waktu hak khiyar. 

Sebagian ahli ilmu mengatakan munabadzah adalah sama dengan jual beli hashah. Mereka berkata: "bai' munabadzah mirip dengan bai' hashah." Namun, yang benar adalah keduanya berbeda, (Fathul Baari  jilid: 4 hal: 360). Semua bentuk jual beli munabadzah dan mulamasah di atas hukumnya haram, karena termasuk dalam bab perjudian (untung-untungan). Dan jual beli ini bathil.
Imam Asy-Syaukani –rahimahullah- berkata, "Illat atau alasan dilarangnya jual beli mulamasah dan munabadzah karena adanya unsur gharar (tipuan), ketidakjelasan dan batalnya hak khiyar atau memilih bagi si pembeli." (Nailul Authaar Jilid: 5 hal: 247)
  
11. Jual beli ‘urban (العربان) Adalah jual beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka menjadi milik penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.

 عن عمرو بن شعيب ، عن أبيه، عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم  نهى عن بيع العُربان. قال أبو عبد الله: العربان أن يشتري الرجل دابةً بمائة دينار، فيعطيه دينارين عربوناً. فيقول: إن لم أشتر الدابة، فالديناران لك.

Dari Amru bin Syuaib dari Bapaknya dari Kakeknya berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang jual beli dengan sistem 'Urban." Abu Abdullah berkata, ''Urban adalah seperti jika seorang laki-laki membeli seekor binatang dengan seratus dinar, lalu ia memberikan dua dinar sebagai uang muka. Lalu ia berkata, "Jika aku tidak jadi beli, maka uang dua dinar tersebut menjadi milikmu". (HR. Ibnu Majah no:  2193)

12. Jual beli talaqqi rukban (الركبان) Adalah jual beli dimana pembeli datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan mengetahui harga pasaran . Pelarangan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu anhu,  bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang mencegat barang dagangan sebelum tiba di pasar. Demikian menurut redaksi Ibnu Numair. Sedang menurut dua perawi yang lain:

Sesungguhnya Nabi shallahu alaihi wasallam melarang pencegatan. (Shahih Muslim No.2793) Dan juga hadits  Abdullah bin Mas`ud radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa beliau melarang pencegatan (blokir) barang-barang dagangan. (Shahih Muslim No.2794)
13. Jual beli orang kota dengan orang desa (بيع حاضر لباد) Adalah orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran. Dalil pelarangan adalah hadits berikut ini:

عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : وقال قتيبة يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا يبيع حاضر لباد.وفي الباب عن طلحة ، وجابر ، وأنس ، وابن عباس ، وحكيم بن أبي يزيد ، عن أبيه ، وعمرو بن عوف المزني جد كثير بن عبد الله ، ورجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم.

Dari Abu Hurairah  radhiallahu anhu, Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda,"Janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang desa. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Thalhah, Jabir, Anas, Ibnu Abbas, Hakim bin Abu Yazid dari ayahnya, Amru bin 'Auf Al Muzni kakek Katsir bin Abdullah & seorang sahabat Nabi . (HR. Tirmidzi: 1143)

عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يبيع حاضر لباد، دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض: حديث أبي هريرة حديث حسن صحيح، وحديث جابر في هذا هو حديث حسن صحيح أيضا والعمل على هذا الحديث عند بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم: كرهوا أن يبيع حاضر لباد، ورخص بعضهم في أن يشتري حاضر لباد " وقال الشافعي: يكره أن يبيع حاضر لباد، وإن باع فالبيع جائز

Dari jabir radhiallahu anhu, Rasulullah -shallallahu alaihi wasllam- bersabda, "Janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang desa, biarkanlah orang-orang (berbagi rezeki) dengan cara Allah memberi rezeki sebagian mereka dari sebagian yang lain. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih sedangkan hadits Jabir dalam hal ini adalah hadits hasan shahih juga. Hadits ini menjadi pedoman amal menurut para ulama dari kalangan sahabat Nabi & selain mereka, mereka memakruhkan orang kota menjualkan barang dagangan orang desa namun sebagian mereka membolehkan orang kota membeli barang dagangan milik orang desa. Sedangkan Asy Syafi'i berkata; Dimakruhkan orang kota menjualkan barang dagangan orang desa namun jika ia menjualnya maka jual belinya dibolehkan.  (HR. Tirmidzi: 1144)

14. Jual beli musharrah (المصرة). Musharrah adalah nama hewan ternak yang diikat puting susunya agar kelihatan banyak susunya, hal ini dilakukan untuk menaikkan harganya. Pelarangan ini berdasarkan hadits Abu Hurairah berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَلْيَنْقَلِبْ بِهَا فَلْيَحْلُبْهَا فَإِنْ رَضِيَ حِلَابَهَا أَمْسَكَهَا وَإِلَّا رَدَّهَا وَمَعَهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Rasululloh  -Shallallu alaihi wa sallam-bersabda: “Barangsiapa membeli kambing yang diikat puting susunya, maka ia boleh menahannya dan mengambil air susunya, jika ia berkenan dengan air susunya maka ia boleh memilikinya, tapi jika ia berkenan mengembalikannya (ia boleh mengembalikannya) dengan menyertakan satu sha’ kurma.”  (HR. Muslim)
15. Jual beli shubrah (الصبرة) Adalah jual beli barang yang ditumpuk dimana bagian luar terlihat lebih baik dari bagian dalam.

16. Jual beli najasy (النجش) Jual beli yang bersifat pura-pura dimana si pembeli menaikkan harga barang , bukan untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga yang tinggi.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ نَهَى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ النَّجْشِ

Dari Ibnu Umar, Nabi melarang jual beli najasy  (HR Bukhari dan Muslim).
Di samping bentuk najasy di atas ada beberapa praktek lain yang tergolong najasy diantaranya:
orang yang tidak ingin membeli suatu barang pura pura menampakkan kekaguman dan mengetahui seluk beluk barang yang sedang ditawar serta memuji muji barang tersebut kepada selain calon pembeli agar harga barang tersebut naik.
pemilik barang atau yang mewakilinya secara dusta mengaku aku bahwa barangnya telah ditawar dengan harga sekian untuk menipu orang yang sedang menawar.
Termasuk najasy kontemporer adalah memanfaatkan berbagai media massa untuk menyebutkan gambaran  suatu produk yang sama sekali tidak sesuai dengan realita untuk memperdaya pembeli dan mendorongnya untuk membeli produk tersebut (Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram juz 4 hal 360).

6    Jual beli yang diperbolehkan.
Jual Beli Juzaf (Spekulatif)
Juzaf secara bahasa berarti mengambil dalam jumlah banyak. Jual beli juzaf dalam terminologi ilmu fiqih yaitu, "Menjual barang yang biasa ditakar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditakar, ditimbang dan dihitung lagi" (As Syarhul Kabir jilid: 3 hal: 35)

Contohnya adalah menjual setumpuk makanan tanpa mengetahui takarannya, atau menjual setumpuk pakaian tanpa mengetahui jumlahnya. Atau menjual sebidang tanah tanpa mengetahui luasnya.
Hukum Jual Beli Juzaaf (Spekulatif)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara syarat sahnya jual beli bahwa objek jual beli itu harus diketahui. Maka materi objek jual beli, ukuran dan kriterianya harus diketahui. Sementara dalam jual beli spekulatif ini tidak ada pengetahuan tentang ukuran. Namun demikian, jual beli ini termasuk yang dikecualikan dari hukum asalnya yang bersifat umum, karena umat manusia amat membutuhkannya.

Di antara dalil disyariatkannya jual beli ini adalah hadits Ibnu Umar bahwa ia menceritakan, “Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang dengan cara spekulatif.  Lalu Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam melarang kami menjualnya sebelum kami memindahkannya dari tempatnya.
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku pernah melihat para sahabat di zaman Rasulullah kalau membeli makanan secara spekulatif, mereka diberi hukuman pukulan bila menjualnya langsung di lokasi pembelian, kecuali kalau mereka telah memindahkannya ke kendaraan mereka.” (HR. Bukhori)

Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli spekulatif, sehingga hal itu menunjukkan bahwa jual beli semacam itu dibolehkan.
Para ulama ahli fiqih sepakat membolehkan jual beli juzaaf secara global, lain halnya pada sebagian bentuk aplikatifnya secara rinci.

Syarat-syarat Jual Beli Spekulatif

Agar dibolehkan melakukan jual beli juzaf atau spekulatif ini ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Para ahli fiqih dari kalangan Malikiyah menyebutkan sebagian di antaranya sebagai berikut:

* Saat terjadi transaksi barang terlihat secara acak.
* Baik pembeli ataupun penjual sama-sama tidak tahu ukuran barang dagangan. Apabila salah seorang di antaranya mengetahui ukuran barang tersebut,  maka jual beli itu tidak sah.
* Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.
* Tanah tempat meletakkan barang itu harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.
* Jumlah barang yang diperjual belikan tidak terlalu banyak  sehingga sulit untuk ditaksir. Atau sebaliknya, terlalu sedikit sehingga mudah untuk dihitung sehingga penjualan spekulatif ini menjadi tidak ada gunanya.
* Barang tersebut sulit dihitung dan tidak dimaksudkan untuk dijual satu persatu

Kalangan Malikiyah adalah  madzhab yang paling banyak merinci persyaratan-persyaratan ini. Dalam sebagian persyaratan, ada juga selain madzhab Malikiyah yang ikut merincinya.


Menjual Komoditi Riba Fadhal Secara Spekulatif

Komoditi riba fadhal tidak boleh dijual dengan jenis yang sama secara spekulatif. Satu tandan kurma misalnya tidak bisa dijual dengan satu tandan kurma lain. Karena syarat dibolehkannya menjual komoditi-komoditi riba fadhal itu dengan yang sejenisnya adalah adanya kesamaan ukuran dan serah terima langsung. Sementara jual beli spekulatif tidak merealisasikan kesamaan ukuran itu karena berdasarkan spekulasi dan perkiraan saja. Padahal kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal ‘Ketidaktahuan akan kesamaan sama saja dengan mengetahui adanya perbedaan’.

7. Jual Beli yang Diperdebatkan

a. Jual beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan lebih banyak (riba).
b. Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan barang.
c. Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka (urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya.
d. Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara bertahap, selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar.

           Wallahu ta'ala a'lam


          Sumber bacaan:
1.      Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah
2.      Raudhathuttaalibiin.
3.      Al Fiqh Al Muyassar
4.      Ma La Yasa'u At Taajiru Jahluh
5.      Al Majmu
6.      As Syarhul Kabiir ma'a Al Mughni
7.      As Syarh As Shaghiir
8.    Tawdhih Al Ahkam


Diselesaikan di Madinah Al Munawwarah Jum'at 14-04-1435 H