Samstag, 1. Februar 2014

POTRET KESALAFIAN KITA

(edisi muhaasabah)

Ditengah kepungan mereka yang mengarahkan kepalan tangan permusuhan terhadap dakwah salaf, sebagian kita malah sepakat untuk tidak sepakat. 

Disaat yang lain sibuk berdakwah dan membina umat, sebagian kita malah sibuk melucuti kredibilitas mereka dihadapan umat.

Ketika yg lain tanpa sengaja jatuh dalam kesalahan, sebagian kita malah mengelus dada sambil tersenyum puas melihat lawannya terjatuh.

Padahal jenggot sama-sama punya, celana juga sama cingkrangnya, buku rujukan, ulama dan prinsip dakwahnya pun juga sama.
Namun senyum, salam dan sapa tak lagi ada, tak lagi terdengar saat tahu kalau gurunya berbeda.

Pada akhirnya.....
Kita hanya akan saling curiga, saling menuduh, melukai dan bahkan saling menelanjangi kehormatan saudara-saudara kita yang memiliki prinsip beragama yang sama dengan kita, walau mungkin berbeda dalam beberapa masalah ijtihadiyah.

Ingatlah saudaraku...
14 abad yang lalu, dibawah terik panas matahari Arafah, dihadapan 120 ribu sahabat, panutan kita pernah bersabda:

«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِى شَهْرِكُمْ هَذَا، فِى بَلَدِكُمْ هَذَا…».

Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian telah diharamkan atas kalian (untuk dilanggar), seperti haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian (Dzulhijjah) ini, di negeri kalian (Mekkah) ini.

Butir-butir nasehat diatas mengandung pesan moral yang dalam. Menjaga pesan itu serta mengaplikasikannya dalam dakwah, sama halnya dengan menjaga manhaj yang kita cintai. Sebab perbaikan moral merupakan bagian dari misi kenabian yang tak boleh diabaikan.

Bercerminlah pada salaf..
Bercerminlah pada ilmu, Ibadah, akhlak serta sikap mereka dalam menyikapi perbedaan.
Sebagai manusia biasa mereka juga pernah berselisih, namun kasih sayang tetap terjalin diantara mereka.
Yunus As Shadafi -rahimahullah- berkata: "Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang lebih hebat dari Asy Syafi'I. Suatu hari aku pernah melakukan debat dengannya dalam suatu masaalah kemudian kami berpisah.
Ketika bertemu beliau lantas menggenggam tanganku dan berkata, "Wahai abu Musa! Apakah kita tidak bisa untuk tetap menjadi sahabat sekalipun kita tidak sepakat dalam satu masalah..?"

Demikian pula yang terjadi antara Imam Ahmad -rahimahullah- dan Imam Ali Al-Madini -rahimahullah-. Mereka pernah berdebat soal persaksian, kedua suara mereka pun meninggi hingga ada yang mengira keduanya bakal tidak akur. Namun nyatanya mereka tetap akur-akur saja. Bahkan saat Imam Ali Al-Madini hendak pergi, Imam Ahmad menuntun kendaraan yang ditunggangi Ali Al-Madini hingga pintu halaman masjid.

Dizaman ini.. kita butuh jiwa-jiwa besar itu.. Jiwa-jiwa yang terampil mengelola kecerdasan dan emosi, hingga melahirkan sikap hikmah dan arif dalam menyampaikan pesan-pesan agama serta bijak dalam menyikapi perbedaan.

Syaikh bin Baz Rahimahullah pernah berkata: "Zaman ini adalah zaman kelembutan, kesabaran dan hikmah, bukan zaman kekerasan. Saat ini, kebanyakan manusia jahil (dalam agamanya) dan lebih banyak mementingkan urusan dunianya. Maka hendaklah sabar dan berlemah lembut supaya dakwah ini dapat disampaikan dan mereka dapat mengetahuinya".

Sebenarnya 14 Abad yang lalu Al Qur'an telah meletakkan dustur yang jelas agar menjadi panduan kita dalam mengemban misi nubuwah, Allah azza wajalla berfirman:

"Sekiranya engkau berucap kasar lagi berhati keras, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu" (QS:3:159)

Iya, sikap kasar hanya akan membuat kita tampak bodoh dengan ilmu yang kita miliki. Dia hanya akan memperkeruh suasana, merusak citra dan sum'ah manhaj yang kita dakwahkan.
Disadari atau tidak, sebagian objek dakwah kadang lebih menaruh simpati pada bagusnya akhlak seseorang ketimbang luasnya ilmu yang dimilikinya. Bahkan akhlak menjadi barometer kepantasan bagi mereka sebelum memutuskan apakah akan mengambil ilmu dari fulan atau tidak.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa kebatilan yang dikemas dengan baik serta disuguhkan dengan penuh kasih akan lebih mudah diterima ketimbang kebenaran yang diusung oleh orang-orang yang berilmu namun tak bermoral.

Sadarilah..
Kita dan salaf terlampau jauh, baik dari segi ilmu apalagi amalan, jadi tak usah memperbesar jurang pemisah itu dengan sikap-sikap kita yang tak mencerminkan jati diri pengikut salaf sejati.
Saya dan anda mungkin masih ingat ungkapan yg selalu diulang-ulang ketika awal ngaji dulu,

"Semua mengaku punya hubungan dengan Laila, namun Laila tidak mengakuinya".

Bertanyalah, apakah dengan bahasa-bahasa kasar, ditambah dengan hujjah yang dipaksakan itu masihkah Laila akan mengakui hubungan kita...?

Bercerminlah pada salaf..
Lalu bertanyalah..
Dimana kita diantara mereka.?

---------------------------------
Madinah, Kamis 29-03-1435 H

0 Kommentare:

Kommentar veröffentlichen