Donnerstag, 6. Februar 2014

Biografi Syaikh Ali Musthafa Thantawi Rahimahullah (أديب الفقهاء و فقيه الأدباء )

"Kepada Putra – Putriku". Risalah kecil itulah yang membawa penulis berkenalan dengan sastrawan ternama Syaikh Ali Thantawi –rahimahullah-. Waktu itu penulis duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Sejak saat itu cukup lama penulis tidak bersinggungan lagi dengan karya beliau, hingga tahun kedua di bangku kuliah UIM Madinah.
Tulisan sederhana ini merupakan upaya kecil penulis dalam memperkenalkan Syaikh –rahimahullah- kehadapan sidang pembaca dan para penuntut ilmu. Penulis sadar bahwa tulisan ini terlalu kecil untuk mengurai kisah hidup pribadi besar yang menjadi saksi berbagai macam perubahan di abad ke 20 M, bahkan sebagian sastrawan menobatkannya sebagai Ringkasan hidup abad 20.


Dari Kelahiran Hingga Masa Remaja
Syaikh Ali Thantawi -rahimahullah- lahir di Damaskus  pada  tanggal 23 Jumadil Ula 1327 H bertepatan dengan 19 Juni 1909 M. Keluarganya berasal dari Thanta sebuah kota di Mesir. Namun diawal abad ke 19 M  kakeknya Muhammad bin Musthofa melalukan imigrasi dari mesir menuju Syam. Bila mengacu pada literatur yang ada, dapat disimpulkan bahwa beliu –rahimahullah- lahir ditengah keluarga yang dipenuhi ilmu dan hikmah. Ayah beliu Mustafa Thantawi merupakan ulama kenamaan Syam di masanya. Ibunya adalah saudara kandung Muhibbuddiin Al-khatiib seorang tokoh pergerakan dakwah salafiyah di abad ke 20 M. Lingkungan ilmiyah inilah yang mendorongnya untuk tekun dalam menuntut ilmu.
Thantawi kecil memulai pendidikan dasar formal pada masa pemerintahan Ottoman Turkey di Madrasah At Tijaariah, tempat dimana ayahnya menjabat sebagai direktur. Beliau sempat beberapa kali pindah sekolah, diantaranya Sekolah Dasar As-Sulthaniyah 2,  sekolah Al-Juqmaqiyah dan beberapa lembaga pendidikan negeri lainnya di syam hingga tahun  1923 M. Untuk mempelajari ilmu Agama  pilihananya jatuh pada  Masjid Jaami' Taubah yang tidak jauh dari rumah ayahnya. Masjid ini merupakan tempat yang digunakan para ulama di masanya untuk menyampaikan berbagai macam pelajaran dalam berbagai displin ilmu dan juga sebagai tempat untuk menghafal Al Qur'an.

Dimasjid itulah beliau menghabiskan masa kecilnya untuk menuntut imu, hingga usianya memasuki 16 tahun saat ayahnya Mustafa tanthawi meninggal dunia. Syaikh –rahimahullah- berkata: "Di hari kedua puluh bulan Sya'ban tahun 1342 H Ayahku meninggal dunia. Kalian semua pasti tau arti dari kematian, karena akhir perjalanan dari setiap yang hidup adalah kematian. Setiap orang pasti pernah menyaksikan kematian orang yang paling berharga dalam hidupnya atau kehilangan orang yang dikasihinya. Akan tetapi kalimat "مات أبى" (ayahku meninggal) kalian tidak akan pernah tau apa maknanya bagiku" (Dzikrayat jilid 1 hal: 229).

Kepergian ayahnya merupakan pukulan terberat baginya, itu karena kepergian ayahnya berarti kehidupan baru baginya. Cucu tertua beliu Ust. Mu'min Diraniah menuturkan: "Dimasa itu syaikh belum siap menanggung beban keluarga yang dihadapinya itu sendiri, namun dialah anak tertua dalam keluarga, posisi itulah yang mengharuskannya memikul tanggung jawab besar itu" (Hayaatul Insaan).
Kondisi ekonomi keluarga yang lemah selepas kepergian ayahnya membuat Tanthawi muda sangat tertekan. Ayahnya meninggalkan hutang yang tidak sedikit, hal itu mengharuskan ia dan keluarganya pindah dari rumah besar ayahnya ketempat kecil yang sangat kumuh. Sebuah keadaan yang menghentakkan jiwanya, namun berbuah keyakinan bahwa sekaranglah saatnya untuk menjadi seorang laki2 dalam makna yang hakiki . -(Untuk mengetahui sebab mengapa ayahnya banyak meninggalkan hutang silahkan baca: Dzikrayaat jilid 1 hal: 227, untuk kisah digubuk yang kumuh silahkan lihat Makalah Jawaabun ala kitaab dalam buku Min Haditsin Nafs)-

Sulit memang, kondisi keluarga berubah drastis, semasa ayahnya hidup ia memiliki
kesempatan untuk meluangkan seluruh waktunya dalam menuntut ilmu dan membaca, namun keadaan memaksanya untuk berhenti menuntut ilmu dan mencari pekerjaan lain guna menghidupi anggota keluarga.  Thantawi kecil berpindah dari satu pkerjaan ke pekerjaan yang lain, dari toko satu ke toko yang lain, dari memikul barang dagangan orang lain hingga berjualan keju dan gula. Sampai akhirnya dia sadar bahwa dirinya tidak cocok untuk menyibukkan diri dalam jual beli. Kerabat dan kawan dekatnya  mendorongnya supaya kembali menyibukkan diri dengan menuntut ilmu. Saran itupun diterima.
Beliu akhirnya melanjutkan pendidikan yang sempat terputus itu di Maktab Anbar sebuah lembaga pendidikan setingkat SMP dan hanya satu-satunya di kota Damaskus. Pada tahun1928 M disekolah inilah beliau meraih gelar akademik Bakloria. Cucu beliau Mujahid Diraniah menuturkan bahwa "Di Maktab Anbariah inilah Syaikh melewati masa-masa yang pnuh kenangan yang selalu diingatnya sepanjang waktu"(Hayaatul insaan)
Diawal karirnya ia mencoba menggeluti dunia tulis-menulis yang  dikemudian hari menjadi keahliannya.  Ust Kurdi Ali pemilik surat kabar Al Qabs pernah memintanya menulis, namun diumur yang terlalu muda itu dia merasa kurang percaya diri. Dia  bahkan tidak pernah bermimpi bahwa karya orang muda sepertinya akan dimuat dan dibaca khalayak ramai. Namun Anwar Atthaar  -penyair kawakan dimasa itu yang merangkap sebagai guru dan kawannya dikemudian hari- mendorongnya untuk maju. Akhirnya Thantawi mudapun memberanikan diri untuk maju meski dengan tekad bercampur ragu.
Tak ada yang menduga memang, tulisan pertamanya membuat Ust Kurdi Ali berdecak kagung, beliau setengah tidak percaya bahwa anak muda seusianya mampu menghasilkan karya tulis yang begitu indah dengan gaya bahasa sastra yang tinggi. Ust Kurdi memintanya kembali menuliskan sebuah artikel yang akan dipublikasikan segera. Thantawi muda masih setengah percaya, sebab kalangan muda dizamannya tidak pernah bermimpi jika tulisan mereka akan dipublikasikan, hal itu disebabkan jumlah surat kabar yang sedikit dan terbatas serta banyaknya sastrawan dan penulis senior yang jauh lebih popular dianding beliau. Namun sekali lagi, kita boleh menebak soal apa saja, tapi tidak soal takdir. Tulisannya benar-benar dimuat dan menempati halaman pertama. Sejak saat itulah kariernya dalam dunia sastra terus melejit.
Satu hal yang membuat Thantawi muda  berbeda dengan teman-teman sebayanya adalah keseriusannya dalam menuntut ilmu baik di sekolah formal ataupun di majelis-majelis ilmu. Ditambah lagi ketekunan beliau dalam membaca. Dalam sebuah ceramahnya beliu berkata: "Sejak aku bisa membaca 70 tahun yang lalu, sejak itulah aku mulai menyibukkan diriku dengan membaca, aku bukan anak yang suka menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak sebayaku dilorong-lorong komplek" (Fi maaidail Ifthaar).


Di Negeri Piramida

Perkembangan keilmuannya semakin melampaui rekan-rekan sebayanya, rasa haus terhadap ilmu membuat beliau akhirnya memutuskan untuk berangkat ke mesir. Disanalah Syaikh –rahimahullah- banyak bertemu dengan ulama dan sastrawan ternama.
Sebenarnya apa yang mendorong beliau untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir kala itu..? Syaikh -rahimahullah- berkata: "Guru-guru kami selalu bercerita tentang Al Azhar dan segala yang berkaitan dengannya. Cerita mereka membuat kami jatuh cinta pada Jami' Al Azhar. Kami mengkhayalkan surga ruhiyah dan kenikmatan qalbu. Kami selalu berfikir bahwa apa yang kami lihat mulai dari karisma hingga kebersahajan guru-guru kami adalah buah dari surga atau tepian paling jauh dari kenikmatan (ruhiyah) itu. Setiap malam datang, kami selalu menghiasi tidur kami dengan kerinduan terhadap Al Azhar, berharap agar dapat mengunjungi mesir dan melihat keindahan Al Azhar. Namun tatkala aku tiba di Mesir tahun 1927 M, aku melihat Al Azhar telah berubah, ia tidak seperti yang digambarkan guru-guru kami dahulu, kondisinya berbeda dari apa yang pernah diceritakan kepada kami dulu. Akupun meninggalkannya dan memilih melanjutkan pendidikan di Daarul Ulum Ulya. Saat aku kembali berkunjung ke mesir tahun 1945 M aku tidak lagi menemukan Jami' Al Azhar, aku hanya mendapati masjid yang kosong, dan gedung-gedung perkuliahan yang berafiliasi dengan Al Azhar. Semua  tak ubahnya seperti kebanyakan sekolah yang kita ketahui. Aku menangis saat aku merasa kehilangannya, aku merindukannya. Kerinduanku bukan pada lentera-lentera minyak dan keindahan serambi masjid yang mengitarinya, namun kerinduan itu pada ketakwaan dan akhlak (yang pernah diceritakan dulu kepadaku), iya, aku menangisi guruku" (Fi Sabiilil Islah hal 34-35).  

Namun belum sempat menyempurnakan pendidikan, sang Ibu tercinta meninggal dunia. Beliau akhirnya memutuskan kembali ke Damaskus dan memilih kuliah di tempat kelahirannya.  Beliau memilih Fakultas hukum hingga meraih gelar lisence di tahun 1933 M. Perihal kepergian ibunya Ali Thantawi berkata: "Aku membayangkan bahwa aku tidak akan bisa sehari berpisah dengan ibuku, karena aku adalah bagian dari hidupnya, aku banyak bergantung padanya. Dialah tempat aku menyimpan segala pedih dan anganku. Iya, seperti kebanyakan hubungan anak dan orang tua. Ibuku…. Aku tak pernah berfikir bahwa aku  mampu untuk jauh darinya walau sehari, atau aku bisa hidup setelah kepergiaannya" (Fii Maaidatil ifthaar)  
Sekembalinya dari Mesir Thanthawi muda diajak untuk membentuk sebuah lembaga kemahasiswaan tingkat tinggi suriah. Lembaga ini merupakan organisasi kepemudaan yang turut memberikan kontribusi bagi perlawanan terhadap tirani Perancis yang menjajah Suriah dimasa perang dunia pertama. Dia dipilih sebagai ketua dan menjalani jabatan itu selama tiga tahun.

Dibidang pendidikan Thantawi muda memulai karirnya pada umur 18 tahun sebagai guru dibanyak sekolah swasta. Materi-materi kuliah yang disampaikannya mendapat apresiasi besar dari pendengar, hingga beberapa diantaranya dicetak kemudian dipublikasikan. Sejak tahun 1931 hingga tahun1935  beliau melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Hal itu sebagai efek dari gejolak perlawanannya terhadap penjajah dan krooni-kroninya yang menyusup dalam pemerintahan. Tahun 1936 Thantawi pindah ke Iraq bersama rekannya Anwar At Thaar. Disana beliu mengajar pada sebuah lembaga pendidikan menegah pertama yang berlokasi di pusat kota Baghdad. Sifat kerasnya dalam melawan tirani penjajah rupanya telah mendarah daging, manuver-manuver perlawanan yang dilakukannya di Syam kini dilakukannya juga di Iraq. Hal itu membuat Syaikh Rahimahullah berpindah dari skolah satu ke sekolah lainnya diseantero Iraq hingga tahun1939 M. Syaikh akhirnya kembali ke Damaskus untuk mengemban tugas sebagai dosen pembantu di Maktab Anbar yang tak lain adalah almamaternya dahulu. Namun seperti biasa beliau tidak pernah berhenti menyuarakan kebenaran. Sikapnya yang tegas terhadap penjajah semakin tak tergoyahkan, hal itu yang membuatnya untuk kesekiankalinya dipindah tugaskan ke Madrash Deer Az Zaur pada tahun 1940 M. Syaikh menetap disana selama satu semester penuh, kemudian dipindah tugaskan lagi sebagai akibat dari Khutbah jum'at yang disampaikannya berisi seruan perlawan terhadap  penjajah Perancis.

Hijrah Ke Haramain
Sejak tahun 1941 M hingga tahun 1963 beliau Rahimahullah menduduki beberapa jabatan penting diantaranya sebagai hakim di beberapa tempat di Damaskus selama sepulah tahun, juga sebagai konsultan pada Mahkamah An Naqdh di  Kairo dan beberapa jabatan lainnya. Pada tahun 1963 terjadi gejolak politik di Suriah. Suriah  ditetapkan tengah memasuki kondisi gawat darurat, taka ada pilihan lain kecuali hijrah. Beliau akhirnya memutuskan untuk hijrah ke KSA, disana beliu diberi amanah sebagai dosen pada Fakultas sastra dan bahasa arab di pusat kota Riyadh. Tugasnya sebaga dosen di Riyadh tak berjalan lama, dia kembali ke Suriah untuk menjalani pengobatan. Setahun kemudian beliau kembali lagi ke KSA untuk memenuhi tawaran yang diajukan padanya. 
Syaikh tak menyangka  bila disanalah beliau akan menghabiskan 35 tahun dari sisa
umurnya dengan berbagai kegiatan dakwah. Kepindahannya ke Mekkah dan Jeddah laksana periode baru dalam hidupnya. Beliau ditugaskan sebagai dosen pada fakultas Tarbiyah di sebuah kampus yang kini bernama Ummul Quro', namun itu tak berlangsung lama, syaikh memutuskan untuk berhenti dari tugasnya sebagai dosen dan lebih memilih menjalankan beberapa program tauiyah sebagai relawan dakwah. Aktifitas barunya ini membuatnya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain di Saudi untuk menyampaikan materi kuliah diberbagai universitas, sekolah-sekolah sekaligus menyampaikan ceramah-ceramah agama disentero Kerajaan Saudi. Tidak hanya itu, kesibukannya bertambah padat saat ia ditugaskan untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjidil Haram Makkah pada tempat yang sudah dikhususkan untuknya, ditambah lagi dengan berbagai program acara di radio dan televisi. Kesibukan itu menjadi rutinitasnya hingga akhir hayat beliu rahimahullah. 


Jasa Beliau Untuk Dunia Islam

Syaikh Ali Thanthawi  memiliki banyak jasa pada dunia islam islam. Salah satu sumbangsihnya terhadap dunia islam yang paling penting dalam hidupnya adalah misi kampanye krisis  Palestina pada dunia islam. Misi ini sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Muktamar Islam yang diselenggarakan di Quds pada tahun 1953 M. Misi inilah yang  membawanya menjelajahi negeri-negeri islam hingga Indonesia. Pengabdian tulus terhadap Islam itu mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan di berbagai Negara. Dan puncak penghargaan itu berupa anugrah Faisal Aword dari Kerajaan Saudi yang diterimanya pada tanggal 10-08-1398 H bertepatan dengan 18 January 1990 M.


Sebuah Pilihan (dari Asy Ary Maturidy menjadi Salafy)
Meski Syaikh Ali Thantawi rahimahullah tumbuh dan dibesarkan di lingkungan ilmiah, namun ia tidak mendapatkan pengajaran aqidah yang benar semasa kecilnya, Syaikh Al Majdzuub menuturkan: "Di awal kehidupannya, beliau (Ali Thantawi) tumbuh di lingkungan sufi. Ayahnya adalah seorang penganut Tariqah Naqsabandiyah sebagaimana pemuka2 ulama lainnya di masa itu. Dari ayahnya ia belajar membenci Ibnu Taimiyah dan Wahhaabiyah, hingga ia pergi ke mesir dan bertemu pamannya Muhibbuddin Al Khatiib. Pertemuan itu seolah memberi ruh yang mendorongnya untuk melakukan kajian ulang terhadap kondisi masyarakatnya.."
Al Majdzuub melanjutkan: " Namun pertemuan itu tidak berujung pada kepastian sikap beliau, hingga kemudian ia dipertemukan dengan Syaikh Bahjat Al-Bithaar. Sejak itulah kehidupannya istiqamah diatas jalan yang lurus dengan konsistensi yang kuat. Konsekwensi dari keistiqomahan itu melahirkan dua karya beliu yang berbicara seputar kehidupan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Tentu saja , konsistensi itu tidak didapatkannya dengan mudah. Saudara beliu Abdul Ghani –sebagaimana penuturannya- memaksanya untuk melakukan diskusi yang panjang bersama Syaikh Bahjat. Mereka masuk dalam rana diskusi tajam yang menyebabkan syaikh murka terhadap ulah mereka. Padahal Syaikh Bahjad Rahimahulah terkenal dengan pembawaannya yang tenang dan jauh dari Fanatisme. Diskusi berlangsung hingga mereka tak lagi memiliki argument yang dapat dijadikan landasan setelah kebenaran tersingkap dengan terang. (Ulamaa wa mufakkiriina araftuhum jilid 3 hal:192)

Di dalam buku Rijaalun minattaarikh Syaikh Ali rahimahullah mengisahkan pertemuan beliu dengan syaikh Bahjat Al Bithaar yang kelak menjadi jalan hidayahnya menuju manhaj salaf, beliau berkata: "Pada tahun 1921 M saat aku berguru pada syaikh Hami At Taqiy  -beliau adalah murid termuda dari Syaikh Jamaaluddin Al Qaasimy rahimahumullah di sekolah percontohan Al Muhaajirin di Damaskus- beliau menceritakan kepada kami tentang kawan belajarnya dalam ilmu qiraah kepada syaikh Jamaluddin Alqasimy yaitu syaikh Bahjad Al Bithaar yang pada saat itu bertugas sebagai guru di sekolah percontohan Al Maidaan Al Ibtidaa'i. Berapa tahun kemudian aku mengunjungi Al Maidaan untuk melaksanakan sholat jum'at di di Jami' Ad Diqaaq. Saat itulah (untuk pertama kalinya) aku mendengarkan khutbahnya. Aku mendapati sesuatu yang tidak kudapati di masjid-masjid yang dulu aku pernah sholat didalamnya. Dia (Syaikh Bahjat) tidak membaca khutbah dari kumpulan-kumpulan khutbah kuno sebagaimana yang dilakukan banyak khotib dimasa itu. Dan tidak juga melalui sebuah teks yang membuatnya tidak mengangkat kepala karena sibuk membaca. Dia menyampaikan khotbah secara spontanitas tanpa melalui persiapan".
Untuk beberapa waktu dia seperti kehilangan orang yang dikaguminya. Syaikh Bahjat pergi menghadiri muktamar dunia islam yang diselengarakan oleh raja Abdul Aziz di makkah  Al Mukarramah pada tahun 1345 H. Sejak kunjungannya itu, Raja meminta agar syaikh Bahjat menetap disisinya dengan tugas sebagai direktur Ma'had Ilmy di Makkah Al mukarramah.
Pada tahun 1350 H Syaikh Bahjat Al bithaar kembali ke Damaskus. Beliau kembali menyampaikan khutbah di Jami Ad Diqaaq. Syaikh Ali berkata: "Dihari-hari itu aku mulai mengenalnya. Aku mulai kagum terhadapnya. Namun aku tidak sejalan dengan (apa yang disampaikannya). Apa yang kudengar darinya bertentangan dengan apa yang selama ini aku tumbuh diatasnya. Dalam masalah aqidah, dimasa itu aku meyakini apa yang  telah ditetapkan oleh Asy'ariyah dan Maaturidiyah. Sebuah keyakinan yang lebih dekat kepada filsafat Yunani. Sebuah filsafat kuno dalam masaalah theologi.
Aku memegang kuat apa yang didiktekan dahulu kepada kami bahwa metode salaf dalam memahami sifat-sifat Allah Aslam (jauh lebih selamat), sementara metode khalaf Ahkam (jauh lebih sempuna). Aku juga tumbuh dalam ketidaksukaan terhadap Ibnu Taimiyah, berpaling darinya dan membencinya. Akan tetapi orang ini (Syaikh Bahjat) seolah membuat Ibnu Timiyah mulia disisiku dan membuatku mencintainya. Dimasa itu aku adalah seorang penganut mazhab Hanafi yang sangat fanatik, sementara dia ingin aku berlepas diri dari fanatisme mazhab tersebut dan berpegang tenguh dengan dalil, bukan dengan apa yang dikatakan mazhab.
Akhirnya uku terpengaruh dengannya, seiring bergulirnya hari akhirnya akupun menganut mazhabnya dengan penuh keyakinanan. Akan tetapi perpindahan ini bukan sesuatu yag mudah bagiku, aku bukan orang yang mudah diarahkan dan mudah mengikuti sesuatu, bahkan aku terus membela apa yang dulu akau yakini, puluhan majelis aku lalui dalam debat dan dikusi dengan berbagai bantahan, semangat menggebu dan sikap keras hingga larut malam. Namun syaikh selalu saja (membuatku kagum) dengan sifat lapang dadanya, kesabaran yang panjang, ditambah dengan keluasan ilmu dan argumennya yang kuat.
Telah kupaparkan pada jilid pertama dari bukuku  yang berkisah tentang Syaikh Muhammabd bi Abdul Wahhab beragam fase yang kulalui, bagaimana aku tumbuh sebagai sorang muqallid muawwil, benci terhadap ibnu taimiyah. Lalu Syaikh Bahjat memberikan pengaruh terhadapku hingga aku menjadi pengikut aqidah salaf, berpegang teguh dengan dalil. Dikemudian hari aku berinteraksi dengan Syaikh Zaahid Al Kautsary untuk waktu yang singkat, aku kembali pada keyakinanku yang dulu. Kemudian  aku tinggal bersama pamanku muhibbuddin Al Khatiib di Mesir, aku mulai mendekati Sayyid Rasyid Ridho, hasilnya pengaruh Syaikh Bahjat terhadap diriku menguat lagi hingga aku istiqomah di atasnya. (Rijaalun Minattaarikh hal 480-482 secara ringkas) 


Syaikh berkata: Hubunganku dengan syaikh Bahjad dimasa itu menyebabkan kesenggangan antara aku dan Guru-guruku, hal itu karena kebanyakan para Masyaikh di Syam lebih condong pada ajaran Sufi dan enggan terhadap wahhabiyah. Mereka tidak tahu dan mengerti bahwa di dunia ini tidak ada mazhab wahhaby, itu hanyalah julukan yang disandarkan secara dusta oleh musuh-musuh dakwah agar orang lain lari menghindar seperti seseorang yang menghindar dari musuh berbahaya yang tidak diketahui. Ditengah-tengah masyarakat kami memang ada Jemaah yang dicap sebagai wahhabiyah dan petingginya adalah syaikh Bahjad Al Baithaar. (ibid 484-485)

Keberanian beliau dalam menentang bid'ah dan menyuarakan kebenaran
.
Syaikh Zuhar As Syawis berkata: Seluruh ulama yang turut serta dalam menyebarkan dakwah salafiyah di Syam sejak Jamaluddin Al Qaasimy hingga Abdul Qadir Badran, Abdul Fattah Al Imam, Syaikh Bahjatil Biithoor, Nasiruddin Al Al Bani semuanya dabat disimbolkan dengan Ali Thanthawi, karena dia memiliki keberanian lebih  yang tidak dimiliki oleh sebagian mereka. Syaikh Zuhair melanjutkan: "Syaikh Rahimahullah sering mendatangi perayaan maulid, -tentu perayaan ini merupakan suatu bid'ah- Setiap orang yang datang berusaha meluruskan dengan sopan dan dengan bahasa yang santun, seandainya kalin bgini, seandainya begitu. Tapi jika datang Ali Thantawi, dengan lantang ia berkata, semuai ini adalah kesalahan, ini merupakan penghinaan terhadap nabi, mengapa kalian berbicara soal matanya, perutnya, kakinya, soal bibirnya. Apakah ini petunjuk nabi.? Sungguh Hidayahnya ada dalam petunjuknya, dalam qur'annya. Maka sejurus kemudian manusia terbagi menjadi dua kubuh, antara pelaku bid'ah dan ahlussunnah. Syaikh Ali lalu keluar meninggalkan tempat perayaan dan orang-orangpun keluar bersamanya meninggalkan perayaan tersebut dalam jumlah yg banyak (Hayaatul Insaan)
Mu'min Diraniyah mengatakan, "Ketika beliu masih duduk dibangku sekolah dasar,  sekolahnya biasa mengadakan kegiatan menyampaikan pidato di pagi hari dihadapan kepada sesama murid. Pada hari yang menjadi giliran Ali kecil bertepatan dengan kunjungan seorang juru runding perancis, diapun menyampaikan pidato yang dengan keras menyerang orang-orang prancis dan mengajak yang hadir agar menghentikan kegiatan penyambutan atas juru runding itu. Dia memprovokasi masa untuk tidak menghadiri penyambutan sang juru runding. Ungkapan jujur yang keluar dali mulut Ali kecil itu ternyata mendapat respon dari sebagian gurunya, mereka akhirnya menolak menghadiri acara penyambutan juru runding Perancis itu, sebagai ganjarannya Thantawi kecil pun harus menerima pengurangan nilai akhlak dan suluk sebagai hukuman atas keberaniannya" (Hayaatul Insaan)



Dan Diapun Pergi.......

Diusianya yang ke delapan puluh, mulailah terlihat peluh dan letih dari wajah beliau. Rasa letih itu jualah yang membuat ia memilih berhenti dari berbagai acara di Radio dan Televisi serta memilih untuk tinggal menetap dirumahnya, kondisi ini membuat rumahnya berubah bak sebuah Nadwah (balai pertemuan) tempat mendiskusiakan berbagai hal yang mencakup masalah-masaalah bahasa , fikih dan Sejarah.
Pada hari Jum'at tanggal 4 Rabi'ul awwal 1420 H bertepatan dengan 18 Juni 1999 beliau menutup usia RS Malik Fahd Jeddah dan dishalatkan di Haram Makki pada hari berikutnya selepas shalat Ashar Sabtu 19 Juni 1999 M. Kepergiannya menjadi topik utama diberbagai media. Ungkapan belasungkawapun datang dari berbagai penjuru. Pena-pena sastrawan tergerak menggubah syair-syair perpisahan, semua seolah bercerita tentang namanya yang akan terus hidup dihati orang-orang yang mencintainya. Rahimakallahu ya Syaikh……   



"Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ia hanyalah perpindahan menuju alam yang lebih luas serta kehidupan yang lebih panjang (abadi) (dari dunia ini).
Semua tak ubahnya seperti perpindaahan janin yang melalui proses kelahiran menuju dunia ini.
Sungguh setelah kematian, ada kehidupan yang menyuguhkan kebahagiaan dan penderitaan, serta kegembiraan dan penyesalan.
Hanya orang gila yang meragukan akan adanya kehidupan yang lain (di akhirat) dan berusaha mendebatnya atau berkata:
" Kehidupan tidak lain hanyalah kehidupan dunia, kita mati dan hidup dan kita tidak akan dibangkitkan lagi (QS: Al-Mu'minun: 37)
(Fushuulun Islaamiyah Hal:66)
 


Karya Beliau.  
Selama hidup beliau telah menulis lebih dari 15.000 artikel. Sebagian telah dicetak hingga berulang kali. Keindahan karya beliu terletak pada bahasanya yang mudah dengan tetap mempertahankan konsep philology sastra arab yang tinggi. Itulah yang membuat penulis membeli seluru karyanya tanpa terkecuali. Banyak sastrawan yang menilai bahwa beliau rahimahullah termasuk ulama yang sukses membawa ruh sastra kedalam dunia fiqih sebagaimana Ibnu Qutaibah dalam dunia Hadits.
Diantara karya beliu adalah:

ذكريات  1-8
فتاوى
تعريف عام بدين الإسلام
أبو بكر الصديق 
أخبار عمر وأخبار عبد الله بن عمر
الجامع الأموي في دمشق
هتاف المجد 
في سبيل الإصلاح 
دمشق (صور من جمالها، وعبر من نضالها)
فكر ومباحث
بغداد (مشاهدات وذكريات)
فصول إسلامية
مقالات في كلمات  ج1
مقالات في كلمات ج2
من نفحات الحرم 
صيد الخاطر للإمام بن الجوزي، تحقيق الطنطاويين
حكايات من التاريخ (جابر عثرات الكرام، المجرم ومدير الشرطة، التاجر والقائد، قصة الأخوين، وزارة بعنقود عنب، ابن الوزير)
أعلام التاريخ (عبد الرحمن بن عوف، عبد الله بن المبارك، القاضي شريك، الإمام النووي، أحمد بن عرفان الشهيد)
قصص من التاريخ
رجال من التاريخ
صور وخواطر
مع الناس
قصص من الحياة
من حديث النفس
صور من الشرق في اندونسيا


Sekian.
Wallahu ta'ala a'lam
Aan Chandra Thalib El-Gharantaly.
Madinah Al-Munawwarah, 12-06-1434 H

4 Kommentare:

  1. Assalamu'alaikum ustadz.. Saya penasaran ustadz, ttg asy'ari maturidi.. Bgmn cirinya? Apakah ust pernah menulis kajian thdp mazhab/fikrah2 spt itu atau ust bs tunjukkan pd saya referensi yg terpecaya.. trmkasih ustadz. Jazakallah khairan

    AntwortenLöschen