Imam Syafi'i
pernah berkata tentang Al Buwaithi, "Tidak ada seorangpun diantara
muridku yang lebih berilmu dari Al Buwaithi". Syafi'i bahkan mempercayakan
fatwa kepada Al Buwaithi. Dia selalu mempersilahkan Al Buwaithi menjawab
berbagai pertanyaan yang diajukan di dalam majelis beliau.
(Lihat At Thabaqaat: 2/164)
Di dalam Al-Intiqoo Ibnu Abdil Baar
meriwayatkan dari Muhammad bin Fazaarah Ar-Raazi bahwa dia berkata: "Aku
pernah mengatakan kepada Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya aku telah
banyak menulis hadits, maka sudah seharusnya aku menulis
pandangan-pandangan ulama. Imam Ahmad menjawab, "Jangan lakukan itu. Aku
lalu menimpali, "Aku harus menulis pandangan Al Auza'i, As Tsaury atau
Malik. Imam Ahmad menjawab, "Bila memang harus maka tulislah pendapat As
syafi'i. Temuilah Al Buwaithi, dengarkan darinya, bila engkau tidak
mendapatinya maka temuilah Abul Walid bin Abil Jaruud di Makkah.
Meski telah mencapai derajad mujtahid muthlak, Al Buwaithi tetap
menjadikan ushul Imam Syafi'i sebagai acuan dalam melakukan istinbath.
Seperti ulama pada umumnya, Al-Buwaithy juga mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya, jalanan yang menyambungkan antara mesir dan baghdad menjadi saksi keteguhannya.
Tepat pada tahun 218 H terjadi fitnah besar sebagai akibat doktrin mu'tazilah
yang menyatakan bahwa Al Qur'an adalah Makhluk. Para ulama dan hakim
dimasa itu dipaksa mengakui doktrin tersebut. Siapa yang menolak akan
dicopot dari jabatannya dan wajib menerima hukuman. Mayoritas ulama
Ahlussunnah memilih teguh diatas pendirian mereka, sehingganya tak
sedikit yang mati tersiksa dalam penjara. Salah satu diantaranya adalah Al-Buwaithi.
Kisah itu bermula saat orang-orang yang
sebelumnya telah menaruh kebencian kepadanya mengirimkan surat kepada
Ibnu Abi Du'ad al Mu'tazily mentri Al Watsiq Billah yang isinya berupa
pengaduan bahwa Al-Buwaithi tidak mau mengakui kalau Al Qur'an adalah
Makhluk Allah. Al Watsiq kemudian mengirimkan surat perintah kepada
gubernur Mesir agar memaksanya mengucapkan kata-kata kufur tersebut.
Tetepi dengan tegas Al-Buwaithi menolak. Sang gubernur yang kwatir
akan keselamatan Al-Buwaithi menawarkan opsi, "Katakan antara aku dan
engkau saja, perlihatkan dihadapanku sesuatu yang mengesankan bahwa Al
Qur'an adalah makhluk Allah, adapun didepan khalayak engkau bebas
mengatakan apa saja semaumu.
Namun sekali lagi Al-Buwaithi menolak, dengan tegas ia mengatakan:
Namun sekali lagi Al-Buwaithi menolak, dengan tegas ia mengatakan:
"Di belakangku ada ratusan ribu orang yang tidak mengerti arti dari semua ini. Aku tidak mau mereka tersesat karena aku. Tidak demi Allah.. Adzab dunia jauh lebih ringan ketimbang adzab
diakhirat. Dan ridho Allah merupakan sesuatu yang harus dicari.
Tidak demi Allah... Aku tidak ingin menjadi sumber fitnah bagi orang awam..
Al Qur'an adalah Kalamullah (firman Allah..)
Al Qur'an adalah Kalamullah (firman Allah...)
Tidak demi Allah... Aku tidak ingin menjadi sumber fitnah bagi orang awam..
Al Qur'an adalah Kalamullah (firman Allah..)
Al Qur'an adalah Kalamullah (firman Allah...)
Akhirnya Al-Buwaithi dipaksa pergi meninggalkan mesir menuju Baghdad.
Ar-Robi' bin Sulaiman Al-Muradi mengatakan, "Al-Buwaithi terus menerus
menggerakkan kedua bibirnya untuk mengingat Allah. Aku tidak pernah
melihat orang yang kuat dalam berhujjah dengan kitabullah seperti Al-Buwaithi. Aku melihatnya diatas keledai digantungi besi seberat 40
ritel. Lehernya dikalungi rantai besi, kakinya diikat. Antara kalung besi di
leher dan rantai besi di kaki dihubungkan dengan rantai besi yang berat.
Dalam kondisi itu dia berkata, "Allah telah mencipkan makhluknya dengan
kata "Kun". Apabila (firman Allah ''kun") itu adalah makhluk, itu
berarti mahkluk diciptakan dengan makhluk". Bila aku masuk menemuinya
(Al-Watsiq) aku pasti akan mengatakan kebenaran padanya. Aku lebih
memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar
suatu hari nanti, orang-orang itu mengerti bahwa telah mati dalam
mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam
ikatan-ikatan besi"
Al-Buwaithi mengatakan: "Siapa yang mengatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluk, maka dia telah kafir".
Memang doktrin Mu'tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk merupakan doktrin yang sangat jelas menyimpang dari aqidah
Ahlussunnah wal jamaah. Ahlussunnah meyakini bahwa Al Qur'an adalah
kalam Allah, darinya bermula dan kepada-Nya berakhir. Hal ini
sebagaimana yang Allah kabarkan sendiri dalam Al Qur'an.
Alkalam
merupakan salah satu diantara sifat-sifat Allah. Bila kita mengatakan
bahwa Al Qur'an adalah makhluk, maka berarti dia akan sirna, sebab
makhluk memiliki sifat fana atau tidak kekal. Sementara sifat Allah
Abadi sebagaimana Dzat-Nya yang abadi untuk selama-lamanya.
Kisah Imam Al Buwaithi diatas mengandung pelajaran penting tentang arti keteguhan dalam mempertahankan prinsip.
Imam Al Buwaithi seolah mengajari kita bahwa seorang da'i atau ulama tidak boleh dibeli apalagi mau diajak untuk kompromi dalam kebatilan.
Dia mengajari kita untuk tetap teguh diatas kebenaran sekalipun dihadapkan pada kenyataan pahit.
Ungkapan "dibelakangku ada ratusan ribu orang" memberi pesan bahwa seorang da'i harus sadar kalau dibelakangnya ada ummat yang selalu menunggu keputusannya, arahannya juga sikapnya dalam setiap permasaalahan.
Imam Al Buwaithi seolah mengajari kita bahwa seorang da'i atau ulama tidak boleh dibeli apalagi mau diajak untuk kompromi dalam kebatilan.
Dia mengajari kita untuk tetap teguh diatas kebenaran sekalipun dihadapkan pada kenyataan pahit.
Ungkapan "dibelakangku ada ratusan ribu orang" memberi pesan bahwa seorang da'i harus sadar kalau dibelakangnya ada ummat yang selalu menunggu keputusannya, arahannya juga sikapnya dalam setiap permasaalahan.
Kisah ini juga mengingatkan kita akan keteguhan Imam Ahmad.
Keduanya baik Imam Ahmad maupun Imam Al Buwaithi memahami betapa mereka harus berjuang melawan rasa sakit, dan mungkin saja kematian dalam kondisi seperti itu. Mereka memilih drama jiwa itu, mereka memutuskan bertahan di tengah ratusan ribu orang yang hidup dalam ketidakmengertian. Dengan keteguhan mereka berusaha menggambarkan betapa serius permasalahan tersebut.
Keduanya baik Imam Ahmad maupun Imam Al Buwaithi memahami betapa mereka harus berjuang melawan rasa sakit, dan mungkin saja kematian dalam kondisi seperti itu. Mereka memilih drama jiwa itu, mereka memutuskan bertahan di tengah ratusan ribu orang yang hidup dalam ketidakmengertian. Dengan keteguhan mereka berusaha menggambarkan betapa serius permasalahan tersebut.
Di jalan dakwah ini..
banyak yang mundur ketika pertaruhannya adalah hidup atau mati. Tapi
orang-orang besar memilih untuk terus berkarya, memberi dan berbagi
untuk orang banyak baik dengan ilmu, arahan, atau bahkan dengan kematian
itu sendiri. Semua demi balasan yang lebih terhormat di akhirat kelak.
Itulah arti keteguhan yang dapat kita terjemahkan dari rantai besi yang membelenggu Al-Buwaity.
"Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi
ini, agar suatu hari nanti, orang-orang itu mengerti bahwa telah mati
dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam
ikatan-ikatan besi"
-Rahimahumullah-
Diantara karya Imam al-Buwaity:
Judul buku: Mukhtashar Al Buwaithi (1 jilid)
Penulis: Abu Ya'Qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi Al-Mishri
Penerbit: Darr Al Minhaj Keterangan: Untuk pertama kalinya buku ini dicetak dengan mengacu pada tiga manuskrip langka. Pentahkikan buku ini dimulai sejak tahun 1980 oleh Prof. Dr. Ali Muhyiddin Al Qardhaghi dan baru bisa diterbitkan tahun ini.
Penulis: Abu Ya'Qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi Al-Mishri
Penerbit: Darr Al Minhaj Keterangan: Untuk pertama kalinya buku ini dicetak dengan mengacu pada tiga manuskrip langka. Pentahkikan buku ini dimulai sejak tahun 1980 oleh Prof. Dr. Ali Muhyiddin Al Qardhaghi dan baru bisa diterbitkan tahun ini.
Buku ini merupakan ringkasan Kitab Al Umm
karya imam Syafi'i. Akan tetapi Imam Al Buwaithi tidak hanya sekedar
meringkas, beliau menambahkan beberapa hasil ijtihadnya terhadap
sejumlah masaalah yang terkadang menyelisihi ijtihad Imam Syafi'i.
Buku ini menjadi salah satu rujukan utama qpara imam baik dari kalangan Syafi'iyah seperti Al Juwainy, As Syairazy, Al Ghazaly, Al Mawardy, Ar Rofi'i, An Nawawi dan ulama lainnya dari madzhab yang berbeda.
Buku ini menjadi salah satu rujukan utama qpara imam baik dari kalangan Syafi'iyah seperti Al Juwainy, As Syairazy, Al Ghazaly, Al Mawardy, Ar Rofi'i, An Nawawi dan ulama lainnya dari madzhab yang berbeda.
Wallahu a'lam
__________________
Madinah di awal musim dingin
14 Shafar 1436 H
ACT El Gharantaly
Madinah di awal musim dingin
14 Shafar 1436 H
ACT El Gharantaly
0 Kommentare:
Kommentar veröffentlichen