Samstag, 1. Februar 2014

DAN MALAMPUN TIBA (Tiga Golongan Manusia Setelah Sholat Isya)

(edisi inspirasi pagi bersama Syaikh Prof. DR. Abdurrazzak Al Badr -hafidzahullah-)

Sahabat Abu Barzah Al Aslamy -radhiallahu anhu- mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari)

Dalam kunjungannya ke Qodisiyyah, sahabat Salman Al-Farisi -radhiallahu anhu- mengatakan kepada Thoriq bin Syihab bahwa setelah sholat Isya kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan:

1. Orang yang beruntung. lahu wala 'alaihi ( له ولا عليه )

2. Orang yang rugi. 'alaihi wala lahu ( عليه ولا له )

3. Orang yang impas. la 'alaihi wala lahu ( لا عليه ولا له )

Golongan pertama adalah mereka yang melalui malam-malamnya dengan ketaatan, seperti qiyamul lail, membaca al-Qur'an, mudzakaroh atau memuroja'ah pelajaran dan melakukan aktifitas-aktifitas lain yang bernilai ibadah. Maka malam itu, menjadi ladang amal baginya.
Sedangkan golongan yang kedua, adalah mereka yang mengisi malam-malamnya dengan kemaksiatan. 

Syeikh Abdurrazzak mengatakan yang maknanya: "Seperti orang yang merasa dirinya tidak diawasi Allah. Saat ia sendiri di dalam kamarnya, ia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Bila telah yakin bahwa tak seorangpun yg melihatnya, mulailah ia membuka situs-situs internet yang menyuguhkan tontonan syahwat dll. Maka orang seperti ini, malam yang dia lalui merupakan bencana dan petaka baginya. Wal iyaadzu billah.

Adapun golongan yang ketiga adalah mereka yang melalui malam-malamnya dengan tidur, tidak beribadah, tidak pula bermaksiat, maka orang seperti ini tidak mendapatkan apa-apa.
Maka dimana kita diantara tiga golongan itu...?


Catatan:

Begadang setelah shalat ‘isya’ merupakan perbuatan yang dibenci jika bukan untuk perkara yang bermanfaat. Hikmahnya adalah;

Pertama: Agar seorang muslim tidur dalam keadaan suci.
Imam Abu Nashr Al Marwazy -rahimahullah- mengatakan: "Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu alaihi wasaalam- melarang begadang setelah Isya dikarenakan orang yang telah menunaikan sholat Isya dosa-dosanya telah diampuni karena sholat tersebut. Beliau shallallahu alaihi wasallam juga melarang mengobrol dengan orang lain karena ditakutka ada sesuatu yang akan mengotori jiwanya setelah (jiwanya) disucikan dalam obrolan tersebut. Semua itu agar dia tidur dalam keadaan suci.”

Kedua: Agar tidak melewatkan sholat malam
Imam Ibnu Khuzaimah -rahimahullah- mengatakan: ”Menurutku, sesungguhnya beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak menyukai obrolan / begadang karena akan menurunkan semangat dalam melakukan shalat malam. Sebab jika awal malam itu diisi dengan obrolan, maka rasa kantuk akan menyebabkan rasa berat baginya untuk bangun diakhir malam. Dan akhirnya dia tidak bisa bangun dimalam hari. Kalaupun ia bangun, maka ia tidak memiliki semangat untuk melakukan shalat malam.”

Imam Abu Nashr -rahimahullah- meriwayatkan bahwa Sufyan bin ‘Uyainah -rahimahullah- berkata:
“ Aku berbincang-bincang setelah ‘isya’ yang akhir, maka akupun berkata :” Tidak pantas bagiku tidur dalam keadaan seperti ini, akupun berdiri lalu berwudlu, kemudian aku shalat dua raka’at dan meminta ampun. Aku menceritakan ini semua tiidak untuk menyucikkan diriku, tetapi supaya sebagian dari kalian mengamalkannya.”

Al-qashim bin Ayyub -rahimahullah- berkata : “Sa’id bin Jubair melakukan shalat empat raka’at setelah ‘isya’ yang akhir. Kemudian aku mengajaknya bicara di dalam rumahnya. Namun dia tidak menanggapi pembicaraanku”.

Abu Nasr -rahimahullah- juga mengatakan: Dari Khaitsamah bin Abu Ayyub berkata: “ Mereka (salafussholeh) lebih menyukai bila seseorang itu tidur setelah melakukan Witir.”
Dikisahkan bahwa dahulu sahabar Umar bin Al Khattab -radhiallahu anhu- sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian begadang di awal malam, lalu terlelap tidur diakhir malam ?!”

Sahabat..
Lihatlah keadaan salafussholeh..
Lalu bertanyalah pada diri..
Dimana kita diantara mereka..?
Hari ini... Sebagian kita melewati setiap kepingan malam dengan hal-hal yang sia-sia, entah dengan main game, menyaksikan pertandingan bola, menyaksikan film-film yang tidak bermoral dan aktifitas yang sia-sia. Bahkan terkadang... Sebagian kita tak lagi peduli dengan apa dia akan menutup malamnya. Dan yang lebih mengherankan lagi, hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam, bahkan segelintir orang yang katanya penuntut ilmu juga melakukan hal yang sama -wal iyaadzu billah-. Padahal.. Saat mata terpejam dimalam hari, kita tak pernah tau apakah esok mata itu masih bisa menatap dunia yang sama atau tidak.
Didalam do'anya menjelang tidur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan:

بِاسْمِكَ رَبِّيْ وَضَعْتُ جَنْبِيْ، وَبِكَ أَرْفَعُهُ، فَإِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِيْ فَارْحَمْهَا، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ.

“Dengan nama Engkau, wahai Tuhanku, aku meletakkan lambungku. Dan dengan namaMu pula aku bangun daripadanya. Apabila Engkau menahan rohku (mati), maka berilah rahmat padanya. Tapi, apabila Engkau melepas-kannya, maka peliharalah, sebagaimana Engkau memelihara hamba-hambaMu yang shalih.”

Do'a diatas setidaknya mengajari kita bahwa bila mata telah terpejam dalam lelapnya tidur, maka tak ada jaminan kalau ia akan terbuka saat esok menjelang..
Maka pilihlah dengan apa kita akan menutup malam ini..
_______________
Repost: Madinah 29 Muharram 1436 H
ACT El Gharantaly

TERSENYUMLAH..



TERSENYUMLAH....

Disuatu subuh...
Akhi, ana bsok gak bisa hadir ta'lim kayaknya.
Knapa akhi..? Tanya saya,
Teman-teman antum tatapannya kok seram-serem gitu.
Kayak tatapan intelejen.. Susah di ajak senyum..
Tidak semua juga sih.. Hehe
Emang ada yang salah ya dari pakaian ana..?

Itu hanyalah satu dari sekian banyak keluhan yang saya terima dari ikhwah yang baru ngaji.

Sahabat.. Senyum adalah aktivitas sederhana yang tidak membutuhkan energi berlimpah serta biaya yang besar. Ia meluncur dari bibir dan selanjutnya masuk ke relung kalbu yang paling dalam.

Saya kira, kita tak perlu bertanya soal keefektivan senyum dalam mempengaruhi pikiran dan cara pandang orang lain terhadap kita. Pengalaman membuktikah bahwa senyum tulus yang mengalir dari dua bibir yang bersih itu merupakan muqaddimah terbaik dalam meluruskan orang yang keliru atau mengingkari suatu kemunkaran.

Banyak yang mengira bahwa kewibawaan tidak bisa diraih kecuali dengan menjaga jarak dengan orang lain, atau bisa juga dengan menunda senyuman. Padahal manusia yang paling berwibawa saja selalu tersenyum. Sehingga tidak mengherankan jika beliau mampu meluluhkan kalbu sahabat-shabatnya, istri-istrinya dan setiap orang yang berjumpa dengannya.

Sahabat Jabir bin Abdullah -radhiallahu anhu- mengatakan:

ما حَجَبني رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- منذُ أسملتُ، ولا رآني إلا تَبَسَّم في وجهي.

“Sejak aku masuk Islam, Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.”
(HR. Bukhori Muslim)

Bahkan hingga menjelang wafatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih mengajari kita tentang senyum.

Sahabat Anas bin Malik -radhiallahu anhu- menuturkan:

بينما الْمُسْلِمُونَ في صَلاَةِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الإِثْنَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بَهُمْ لَمْ يَفْجَأْهُمْ إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ كَشَفَ سِتْرَ حُجْرَةِ عَائِشَةَ، فَنَظَرَ إِلَيْهِمْ وَهُمْ فِي صُفُوفِ الصَّلاَةِ. ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ!

“Ketika kaum muslimin berada dalam shalat fajar, di hari Senin, sedangkan Abu Bakar menjadi imam mereka, ketika itu mereka dikejutkan oleh Rasulullah shallahu alaihi wasallam yang membuka hijab kamar Aisyah. Beliau melihat kaum muslimin sedang dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum kepada mereka”
(HR. Bukhari Muslim)

Harus kita sadari bahwa sudah merupakan fitrah bila manusia cenderung tidak menyukai sikap sombong, angkuh, kasar, bengis dll.

Allah azza wa jalla berfirman,

“Maka disebabkan rahmat Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali-Imran : 159)

Tidak hanya berpengaruh dalam efektivitas dakwah, senyum bahkan bisa menjadi sedekah yang paling mudah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وتبسمك في وجه أخيك صدقة. رواه الترمذي
وصححه ابن حبان.

“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” (HR. At Tirmidzi dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya)

Beliau juga bersabda:

لا تحقرن من المعروف شيئا ولو أن تلقى أخاك بوجه طلق

“Janganlah engkau menganggap remeh kebaikan sekecil apapun, walaupun bertemu saudaramu hanya dengan wajah yang berseri-seri”.
(HR. Muslim. Dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu anhu)

Jadi... Tak ada alasan untuk menunda senyum.

Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam pernah bersabda :

“Kebaikan itu adalah akhlaq yang baik”

“Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya”

?????????????

Sekali lagi,.. Bercerminlah pada salaf..

-----------------------------------------
Madinah, Jum'at 01-04-1435 H

Fiqih Muamalah Bag. 2 (Pengertian, Klasifikasi Dan Contoh-Contoh Riba)



Definisi Riba

Pada hakikatnya sulit merangkum berbagai jenis riba  dalam sebuah definisi yang pas. Hal itu dikarenakan antara satu jenis riba dengan jenis yang lain kadang sulit untuk dibedakan.
Secara bahasa riba bermakna tambahan atau sesuatu yang menjadi tinggi (mishbahul muniir hal: 217). Adapun Menurut istilah riba bermakna tambahan apa saja terhadap hutang akibat adanya penangguhan tempo atau penambahan dalam pertukaran barangan barang ribawi. Komoditas ribawi tersebut tercantum dalam hadits Abu Said Al-Khudry –radhiallahu anhu- yang diriwayatkan oleh imam muslim. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: 

 “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), tangan dengan tangan (Tunai dan serah terima ditempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia jatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.”

Hukum Riba

          Para Ulama sepakat bahwa riba hukumnya haram berdasarkan dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah serta Ijma kaum muslimin.

Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah firman Allah yang atinya:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Juga dalam firman-Nya yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)

Adapun dalil dari As-Sunnah di antaranya:

Hadits Abu Hurairah –radhiallahu anhu- 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jauhilah olehmu tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka).’ Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah dosa-dosa itu?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan, dan menuduh wanita mukmin yang menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia telah zina).’"  (HR. Muttafaqun 'alaihi)

Juga Hadits Abu Juhaifah –radhiallahu anhu- :

“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)


Komoditas Riba

Dari Abu Sa’id Al-Khudri –radhiallahu anhu-, bahwa Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), tangan dengan tangan (Tunai dan serah terima ditempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)

Hadits lain yang semakna juga menyebutkan enam komoditas diatas, yaitu hadits Umar –radhiallahu anhu-  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim serta hadits Ubadah bin Ash-Shamit –radhiallahu anhu- dalam riwayat Muslim. Dapat disimpulkan bahwa komoditas riba adalah:

1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam

          Selanjutnya para ulama berbeda pendapat, apakah komoditas ribawi terbatas pada enam komoditas di atas, ataukah bisa diqiyaskan pada barang-barang lainnya?
Kalangan Dzahiriyah melihat bahwa barang diatas tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya. Sementara jumhur (mayoritas) ulama melihat bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam komoditas di atas bila ‘illat (sebab hukumnya) sama. Pendapat terakhir Inilah yang paling kuat. Hal itu dikarenakan illat atau sebab hukum yang ada pada enam komoditas diatas juga dimiliki oleh sejumlah barang. Kesimpulan ini berdasarkan dalil qiyas yang juga merupakan dalil yang mu'tabar yang bisa menjadi landasan teori setelah Al-Qur'an As Sunnah dan Ijma.

Pertanyaan: Lalu apa Illat atau sebab hukum yang menjadi alasan berlakunya riba pada  enam komoditas diatas…??

           Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-  menyimpulkan bahwa berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar dalam jual beli, sedangkan empat komoditas lainnya karena statusnya yang masuk dalam kategori bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni sebagai satu diantara sekian pendapat Hanabilah.  Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah- seorang ahli fiqih zaman ini menyimpulkan bahwa: "Alasan berlakunya riba pada emas dan perak dikarenakan keduanya adalah emas dan perak, baik sebagai alat untuk jual beli atau tidak sebagai emas batangan ataupun perhiasan. Sedangkan pada empat komoditi lainnya karena kesemuanya merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang.  (secara ringkas dari Syarhul mumti' jilid: 8 hal: 397)

Jenis-Jenis Riba
    
         Mayoritas ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi pada dua transaksi, yaitu dalam  transaksi utang  (dain) dan dalam jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:

Riba Dain (Riba Dalam Hutang Piutang)
     
         Dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu tambahan terhadap utang. Riba ini terjadi dalam utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi non tunai selain qardh, misalnya transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal). Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh dengan utang  yang muncul karena jual-beli terletak pada asal kedua akad tersebut. Utang qardh muncul karena akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain lalu diganti pada waktu yang lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya si Afwan mengajukan utang sebesar Rp. 100 juta kepada si Syukron dengan tempo pelunasan selama satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si Afwan wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15% kepada si Syukron, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
        
         Kasus lain yang masuk dalam kategori riba duyun adalah, Jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan, dimana bila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebut riba jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi qardh (utang-piutan).
Sementara riba utang yang muncul pada selain qardh (pinjam) contohnya adalah apabila Pak Ahmad membeli motor kepada Pak Asep secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi, maka tempo akan diperpanjang dan Pak Ahmad dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.
         
        Perlu difahami bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutangkan. Riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang. Sebagai contoh, jika si Afwan berutang dua liter bensin kepada si Syukron, kemudian si Syukron menyarankan adanya penambahan satu liter saat pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian pula jika si Afwan berutang 1 kg buah apel kepada si Syukron, jika disyaratkan adanya tambahan saat pengembalian sebesar 0,5 kg, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.

       Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, “kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (shallallahu alaihi wasallam) bahwa disyaratkannya tambahan dalam utang-piutang adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.
Mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan maka keuntungan itu adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si Afwan bersedia memberi pinjaman uang kepada si Syukron dengan syarat si Syukron harus meminjamkan kendaraannya kepada si Afwan selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si Afwan tersebut merupakan riba.

Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah

         Riba Fadhl adalah suatu bentuk transaksi tukar menukar barang ribawi dan yang sejenis dengan adanya tambahan. Juga bisa diartikan sebagai tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram
Riba nasi'ah adalah suatu bentuk transaksi tukar menukar barang ribawi dengan mengakhirkan gantinya disertai tambahan sebagai imbalan atas tempo atau penangguhan tersebut.  Atau secara sederhana adalah riba yang terjadi karena penundaan. Sebab nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan. contohnya utang dengan tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis yang disertai penambahan).

         Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak mengharuskan adanya penambahan,  sebab riba nasi'ah terjadi karena penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai. Baik kedua komoditi sejenis maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak dengan penangguhan, atau membeli perak dengan perak dengan penangguhan. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.

Kesimpulan

1. Riba bisa terdapat dalam utang dan juga transaksi jual-beli.
2. Riba dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati sejak awal ataupun yang ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda. Riba utang ini bisa terjadi dalam qardh (pinjam/utang-piutang) ataupun selain qardh, seperti jual-beli kredit. Semua bentuk riba dalam utang tergolong riba nasi’ah karena muncul akibat tempo (penundaan).
3. Riba dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak seimbang di antara barang ribawi yang sejenis (seperti 10 gram emas ditukar dengan  5,5 gram emas). Jenis inilah yang disebut sebagai riba fadhl.
Riba dalam jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi yang tidak kontan, seperti emas ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini digolongkan ke dalam riba nasi’ah atau secara khusus disebut dengan istilah riba yad.


Beberapa Kaidah Seputar Dua Jenis Riba

Pertama: Kwalitas barang tidak mempengaruhi hukum, sehingga tidak diperbolehkan menjual korma yang berkualitas baik dengan korma yang berkualitas buruk dengan takaran yang berbeda. Seperti menjual korma basah dengan korma yang kering. Dikecualikan pada bai' araayah.
Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah. Sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.

Kedua: Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua-keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.

Ketiga: Pertukaran tidak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita boleh menukar 10 gram emas dengan 30 gram perak atau dengan 40 gram perak sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilangsungkan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah namun ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.

Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti emas ditukar dengan kayu,  maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh menukarnya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai bukan barang ribawi.

Sekian, semoga bermanfaat


Bahan bacaan:
1.Mausuah Fiqhiyah Al Kuwaitiyah cetakan: Kementrian Kuwait cet: 1434 H
2.Ma la Yasa'uttajiru Jahluhu cetakan: Daarul Islam
3.Bidayatul Mujtahid cetakan: Daar  Ibnu Hazm
5.Al Mughni cetakan Daarah Malik Abdul Aziz
6.Syarhul Mumti' cetakan: Daar Ibnul Jauzy