Dienstag, 20. Oktober 2015

ANTARA ULAMA DAN UMARO

Indahnya bila melihat ulama dan umara duduk dalam satu majelis, bersama membahas problem yang dihadapi masyarakat dan ummat. Foto dibawah adalah suasana pertemuan antara ulama dan umara yang dipimpin langsung oleh Malik Salman bin Abdul Aziz di istana kerajaan siang tadi. Sebuah pemandangan yang kita rindukan bersama.
Memang, sudah selayaknya terjalin hubungan yang harmonis antara ulama dan umara, tentunya keharmonisan tersebut dibangun di atas prinsip tanasuh (saling menasehati).
Bila melihat realita yang ada, sepertinya telah terjadi dikotomi antara ulama dan umaro. Dikotomi tersebut lahir dari asumsi bahwa seorang alim tidak layak keluar masuk pintu penguasa tanpa melihat maslahat yang ada. Tak ayal, kesan buruk dan tuduhan-tuduhan keji selalu dialamatkan kepada ulama-ulama yang dekat dengan penguasa. Asumsi ini tak sepenuhnya salah dan sepenuhnya benar.
Permasalahan inilah yang kemudian mendorong Ibnul Jauzy -rahimahullah- menulis sebuah risalah yang berjudul "Athful Ulama ala Al-Umara' wa Al-Umara' ala al-ulama'."
Dalam risalah tersebut ibnul jauzy menerangkan perlunya seorang penguasa membangun hubungan baik dengan ulama, begitu juga sebaliknya.
Setidaknya ada sepuluh poin yang kami catat sebagai kesimpulan dari buku tersebut, sekaligus sebagai pegangan bagi siapa saja yang ingin berinteraksi dengan penguasa.
Pertama: Manusia secara umum tidak bisa lepas dari ketergantungan pada ulama dan umara. Ibnul Jauzy mengatakan:
"رأيت قوام الخلق كلهم بعلمائهم وأمرائهم".
"Aku memandang bahwa penopang kehidupan segenap makhluk itu dengan ulama dan pemerintah mereka"
Kedua: Hendaknya ulama dan umaro saling bersinergi dalam menyelesaikan tugas negara. Ulama mencegah terjadinya kezaliman dengan fatwanya, sementara umara menyelesaikan dengan pedangnya semua yang tidak bisa diselesaikan dengan fatwa.
Ketiga: Dalam berinteraksi dengan pemerintah ulama terbagi menjadi tiga golongan:
1. Ulama yang takut bila agamanya ternodai, golongan ini memilih menjauh dari umara.
2. Ulama munafik. Merekalah yang selalu mengaminkan keburukan penguasa, tidak melarang kemungkaran yg dilakukannya, dan tidak pula menyuruh mereka berbuat kebaikan. Kedekatannya dengan penguasa justru menambah kelaliman penguasa tersebut.
3. Ulama yang bersikap pertengahan. Mereka tidak membatasi diri dengan penguasa namun juga tidak terlalu jauh dalam berinteraksi dengan penguasa. Dia selalu memberi masukan kepada penguasa sebagai bentuk tanggung jawabnya dihadapan Allah.
Keempat: Penguasa itu ada tiga macam:
1. Pemimpin yang adil dan selalu mengikuti petunjuk. Mereka mencintai dan dicintai rakyatnya. Menolong dan mendoakan mereka adalah sebuah keharusan.
2. Pemimpin yang kebaikan dan keburukannya sama. Pemimpin seperti ini sebaiknya dinasihati menurut kadar penerimaannya terhadap nasehat. Tetaplah berlemah lembut terhadapnya.
3. Pemimpin yang kezolimannya sangat dominan. Tetaplah berlemah lembut terhadapnya. Menjauhinya adalah sebuah keharusan. Kecuali bila ada peluang untuk menasihatinya, bila peluang itu ada maka menasihatinya merupakan sebaik-baik amal.
Kelima: Tidak diperkenankan menasehati pemimpin kecuali bagi orang yang alim. Sufyan As-Tsaury mengatakan: "Tidak diperkenankan memerintah penguasa untuk melakukan yang makruf kecuali seorang ulama yang mengetahui apa yang diperintahnya dan mengetahui apa yang dilarangnya. Lembut dalam perintah dan larangannya serta adil dalam perintah dan larangannya".
Keenam: Hendaklah berlemah lembut dalam menasehati pemerintah, karena sifat keras tidak akan memberi manfaat, berbeda dengan sifat lembut yang memiliki pengaruh positif. Merupakan bentuk kekeliruan apabila seseorang berbicara dengan penguasa sebagaimana ia berbicara dengan orang awam.
Ketujuh: Terkait dengan penguasa yang lalim lagi suka membunuh ada syarat dalam menasihatinya. Bila si pemberi nasehat merasa dengan terbunuhnya dirinya dihadapan penguasa tersebut menjadi izzah bagi kaum muslimin, maka tidak mengapa ia menasihatinya. Bila tidak, maka tetaplah mengajaknya dengan kelembutan.
Kedelapan: Sebelum memberi nasehat atau masukan pada seorang penguasa, sebaiknya mengingatkannya tentang agungannya sebuah jabatan dalam islam serta pahala berlaku adil bagi penguasa yang adil.
Kesembilan: Hukum asal nasehat adalah sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu nasehat tidak dilakukan di hadapan manusia. Ibnul Jauzy mengatakan:
"ولتكن الموعظة للسلطان في خلوة... إشارة لا تصريحاً".
"Hendaknya nasehat terhadap penguasa dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam bentuk sindiran bukan dengan terang-terangan"
Kesepuluh: Tidak diperkenankan bergaul dengan pemerintah kecuali orang yang tegar dan kuat dalam melakukan amar makruf dan nahi munkar.
Semoga Allah membimbing para pemimpin negeri ini ke arah yang lebih baik.
_____________
Madinah 2 Dzulhijjah 1436 H
ACT El-Gharantaly

0 Kommentare:

Kommentar veröffentlichen