Freitag, 7. November 2014

Kenangan Bersama Syaikh Ahmad Mahmud bin Abdul Wahhab As-syinqity -hafidzahullah-

Beliau adalah Syaikh Dr. Ahmad Mahmud bin Abdul Wahhab As-syinqity. Usianya saat ini kurang lebih 85 tahun. Sebelumnya beliau adalah dosen ushul fiqh di Universitas Islam Madinah, setelah pensiun beliau mengisi masa pensiunnya dengan mengasuh kelompok belajar ushul fiqh di masjid nabawi. Dari beliau kami mendengar syarh Al Waraqat karya Al Juwainy, Mabadi' Al-Ushul karya Ibnu Badis, Mudzakkirah ushul fiqh karya Syaikh Muhammad Al Amin As Syinqity, Natsrul Wurud Syarh Maraqy As-Suud karya Syaikh Muhammad Al Amin As Syinqity dan Hasyiyah Ibnu Al At-thar Ala Jam'il jawaami'.

Saya dipertemukan Allah dengan beliau beberapa bulan setelah tiba di Madinah. Waktu itu tanpa sengaja saya melihat kerumunan penuntut ilmu sedang mengelilingi seorang kakek tua yang duduk penuh sahaja. Sayapun mendekati kerumunan itu, ternyata kerumunan tersebut merupakan majelis talaqqi ushul fiqh. Penjelasan yang disertai dialog membuat saya tertarik untuk ikut bergabung. Sejak saat itulah saya duduk di majelis beliau -hafidzahullah-.

Biasanya beliau datang ke masjid nabawi kurang lebih 15 menit sebelum adzan maghrib. Majelis beliau berjarak sekitar 10 m disebelah kanan mimbar. Bila musim haji tiba kami harus pindah ke sayap kanan masjid untuk menghindari padatnya jamaah haji yang mengantri masuk raudhoh.
Seingat saya selama bermajelis dengan beliau baru sekali beliau tak datang hadir di majelis. Selebihnya beliau selalu hadir tepat waktu dan tak pernah alpa, hingga suatu hari karena sebuah musibah, beliau harus menjalani operasi pada bagian kaki. Kurang lebih enam bulan kami kehilangan sosok yang selama ini menjadi guru kami, guru yang tidak hanya mengajari kami ilmu, tapi juga mengajari kami akhlak dan ibadah.

Enam bulan kemudian beliau kembali memulai rutinitasnya seperti biasa di masjid nabawi, kali ini beliau tak lagi menggunakan tongkat seperti biasa, tapi kursi roda. Saat pertama kali melihat beliau diatas kursi roda, tak terasa air mata kami berlinang. Qaddarallah.. hanya itu kalimat yang mampu terucap, teriring sebuah harapan semoga Allah memanjangkan umur beliau dalam ketaatan.
Disamping kepakaran beliau dibidang ushul dan bahasa ada satu hal yang membuat saya kagum, yaitu soal perhatian beliau terhadap waktu. Beliau tidak suka menyia-nyiakan waktu. Setiap hari -sebelum menjalani operasi- setiap kali turun dari mobil seorang murid yang sudah menunggu beliau di tempat parkir akan membacakan buku untuknya, sambil berjalan menuju masjid beliau mensyarah buku tersebut hingga ke majelisnya.

Beliau juga termasuk orang yang sabar saat mengajar, tak terlihat perasaan bosan apalagi kesal dari raut wajah beliau bila harus mengulangi penjelasan sampai berkali-kali terhadap murid yang lambat pemahamannya. Bahkan sesekali beliau tersenyum dan menuangkan segelas teh untuk muridnya supaya tetap rileks. Maklum, pelajaran ushul fiqh sebagaimana kata guru beliau Syaikh Muhammad Al Amin As Syinqity -rahimahullah-:

صعب لمن يفهمه و سهل لمن لا يفهمه

"Sulit bagi orang yang memahaminya dan mudah bagi orang yang tidak memahaminya"

Di majelis ushul yang diasuhnya para murid biasanya datang berkelompok. Pada hari sabtu dan ahad beliau mengkhususkan untuk kelompok Maraqi, pada hari senin dan selasa kelompok Mudzakkirah, sementa pada hari rabu dan kamis kelompok mabadi' dan waroqat. Untuk hari jum'at beliau membuka ruang untuk semua kelompok. Setiap kelompok mendapat jatah 15 menit. Diantara sekian murid ada satu orang murid yang begitu spesial bagi syaikh, kapanpun sang murid datang dia bisa langsung membaca dan mendengar penjelasan syaikh tanpa harus ikut antrian. Dialah satu-satunya murid yang talaqqi jam'ul jawaami' di majelis kami. Karena tertarik sayapun mengikuti penjelasan syaikh terhadap kitab tersebut sampai saat ini.

Di majelis saya memilih duduk tepat disebelah kanan syaikh sehingga saya dapat mengikuti penjelasan beliau terhadap matan-matan yang nantinya akan dibacakan setiap kelompok, alhamdulillah semua berjalan dengan baik, syaikh sama sekali tidak keberatan pada saya karena mengikuti semu majelis.

Walaupun syaikh sudah menjadwalkan waktu dalam seminggu untuk setiap kelompok tetap saja beliau memprioritaskan orang yang pertama datang ke majelis.
Saat ini kami hanya bisa menghadiri majelis beliau tiga kali dalam sepekan, karena sebagian besar matan -alhamdulillah- telah tuntas di bahas.

 Selama berada di Madinah saya merasa bahwa talaqqi merupakan metode terbaik dalam menuntut ilmu syar'ie. Karena dari guru kita belajar Ilmu, Adab, ketekunan, kesabaran dan hikmah.
Ada banyak kisah yang sarat pelajaran tentang beliau dan guru-guru kami lainnya. Semuanya telah kami rangkum dalam buku yang berjudul
"AKU DAN DIARYKU"
(belum berniat untuk dicetak)
_________________
Madinah 26 Dzulhijjah 1435 H
ACT El-Gharantaly

0 Kommentare:

Kommentar veröffentlichen