Mittwoch, 20. Mai 2015

BIARKAN SEJARAH BICARA (Suatu Masa, Ketika Islam Menjadi Adidaya) _

Penyerahan kunci Istana Al-Hamra oleh Sultan Muhammad As-Shaghir kepada Raja Ferdinand dan Isabella pada 2 January 1492 M menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Spanyol. Itu artinya, secara politik islam sama sekali tidak memiliki hak terhadap Spanyol. 

Namun berakhirnya kekuasaan islam di Spanyol tidak serta merta mengakhiri kisah kaum muslimin di negeri itu, penyerahan kekuasaan justru merupakan awal dari sejarah kelam kaum muslimin disana. Piagam Granada yang menjanjikan kebebasan beragama bagi kaum muslimin rupanya tidak berumur panjang. Pada tahun 1502 umat islam diberi dua opsi, mameluk Kristen atau pergi meninggalkan bumi Spanyol. Artinya, menetap di Spanyol dengan tetap memeluk agama islam sama artinya dengan bunuh diri. Banyak kaum muslimin yang memilih meninggalkan Spanyol, namun tidak sedikit yang memilih pindah agama secara dzohir, namun tetap menjalankan ajaran islam dengan sembunyi-sembunyi. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kaum Moriscos.

Rupanya pemerintah Spanyol menyadari adanya ketidak tulusan kaum Moriscos terhadap iman Kristen, akibatnya mereka mengalami penyiksaan dan inkuisisi (baca: pembantaian) yang hebat. Keberadaan mereka juga dianggap sebagai ancaman internal yang berbahaya. Sehingga antara tahun 1508-1567 keluar sejumlah peraturan yang melarang segala hal yang bernuasa islam, baik pakaian maupun nama. Penggunaan bahasa arab juga dirarang. Anak-anak kaum muslimin dipaksa untuk menerima pendidikan dari para pendeta Kristen. Puncaknya pada tahun 1609-1614 sebanyak 300.000 Moriscos diusir dari Spanyol oleh Raja Philip III. Benar-benar kenyataan sejarah yang pahit dan menyedihkan.

Dari Spanyol mari kita pindah ke belahan bumi yang lain, tepatnya di Turki tempat dimana kekhalifaan Ottoman berpusat.
Setelah mendengar penyiksaan yang dilakukan penguasa Spanyol terhadap kaum muslimin, Sultan Salim I marah besar, dia mengeluarkan dekrit yang berisi perintah kepada seluruh penganut Yahudi dan Nasrani yang tinggal didaerah kekuasaannya untuk memilih satu dari dua opsi, tinggal menetap dengan catatan memeluk agama Islam, atau pergi meninggalkan Tanah kekhalifaan. Mendengar dekrit tersebut, Syaikh Ali Afandi At- Tirnabily selaku Mufti Ottoman saat itu menyampaikan penolakannya terhadap dekrit sang Sultan. Mufti menjelaskan bahwa dekrit tersebut tidak boleh dilaksanan sekalipun kaum muslimin disembelih di negeri-negeri Salib. Mufti juga menjelaskan bahwa selamanya tidak ada paksaan dalam beragama. Akhirnya Sultan Salim menarik keputusannya dan membiarkan penganut Yahudi dan Nashrani tinggal dengan aman dan damai dibawah pemerintahannya. Iya, mereka semua dibiarkan tinggal dengan aman dan damai disaat pemerintah Spanyol menyembelih ratusan ribu kaum muslimin di negaranya.

Allahu akbar.. Betapa agungnya islam.. 

Batapa agungnya peradaban islam…

Sikap Sultan Salim yang tunduk pada rambu-rambu keislaman sudah cukup sebagai jawaban bahwa islam bukan agama teroris, namun sebagai rahmatan lil alamin. Dimanapun Islam berkuasa, dia akan menjadi pengayom bagi semua.

Andai Islam intoleran seperti yang mereka tuduhkan, tentu tidak akan ada satu Yahudi atau satu Kristenpun yang tersisa di tanah Andalus, Turky, Mesir, Lebanon, Jordan dan sejumlah negara lainnya saat islam berkuasa disana.

Inilah sejarah kami… Jadi tidak usah mengajari kami soal toleransi.

Sumber bacaan:
1. Tarikh Al-Muslimiin Fi Al-Andalus. DR. Muhammad Suhail Thaqus. Penerbit: Daar A-Nafais
2. Udzama’ Al Mi’ah. Jihad At-Turbany. Penerbit: Daar At-Taqwa


_________
Madinah 02-08-1436 H
ACT El Gharantaly

0 Kommentare:

Kommentar veröffentlichen