Donnerstag, 24. April 2014

UNTUKKU DAN UNTUKMU SAHABAT JUANG

(Catatan-catatan kecil  ini kupersembahkan untuk sahabat-sahabat juangku mahasiswa baru  Universitas Islam Madinah yang baru saja tiba di kota Rasulullah. Catatan-catatan ini juga sebagai nasehat untuk saya pribadi yang tak lama lagi akan menutup senja dan meninggalkan kota ini, kota kenangan yang mengajari saya banyak hal


Bismillahirrahmanirrahim

Sahabat...
Ku awali tulisan ini dengan sebuah kisah  yang sarat pelajaran, kisah yang mengajari kita arti sebuah asa.
Kisah ini juga tentang kecerdasan dalam menyikapi beragam pilihan hidup yang kadang muncul tak terduga disepanjang perjalanan menggapai asa itu.

Yahya Ibnu Yahya Al Laitsi, begitulah orang-orang memanggilnya. Dia lahir  dan dibesarkan di bumi Andalus yang jauh di dataran timur Eropa. Sejak menapakkan kakinya di jalan ilmu hatinya telah memendam keinginan  untuk melakukan Rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Rihlah sudah menjadi kebiasaan penuntut ilmu dimasa itu. 

Setelah merasa cukup dengan ilmu yang didapat di negeri asalanya akhirnya ia bertekad untuk mewujudkan keinginan yang terpendam selama ini. Pilihannya jatuh ke kota Madinah, tempat dimana Imam Malik bin Anas –rahimahullah- tinggal dan mengajar.

Andalus dan Madinah memang bukan jarak yang dekat, seperti halnya Madinah dan Indonesia. Ditambah lagi transportasi dimasa itu sangat sulit. Namun tekadnya sudah bulat. tatapannya hanya tertuju pada satu arah, Madinah Nabawiyah. Semua itu tentunya berbayar. Karena bagi seorang Yahya, rihlah berarti melupakan keindahan Andalus  dan bersabar menghadapai kenyataan hidup di dataran Hijaz yang tandus. Namun tekad kuat yang disertai keikhlasan telah membuat jarak yang jauh itu terasa dekat, ruang dan waktu seolah sempit serta keindahan kampung halaman tak lagi berarti.

Setibanya di Madinah tanpa basa-basi pemuda andalus itu langsung duduk dimajelis Imam Malik bin Anas, seolah tak ada waktu rehat baginya. Baginya, meninggalkan keluarga, sanak saudara dan kampung halaman bukanlah pengorbanan yang kecil, sehingga terlalu mahal bila harus mengambil rehat karena letih setelah melakukan perjalanan yang jauh.  

Hari-hari di Madinah dilaluinya dengan semangat yang tak kenal kendor, semua demi mengurai benang asa yang dirajutnya dulu  di tanah air tercinta, bumi Andalus. Hingga suatu hari, saat tengah mendengarkan kajian Imam Malik, tiba-tiba  ada serombongan  musafir memasuki Madinah. Imam Ad Dzahabi menuturkan, " ketika itu para musafir datang membawa gajah. Murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah tersebut dari dekat. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Ia tetap duduk dan memandang ke satu arah, kemana lagi kalau bukan kearah Imam Malik. Melihat hal itu Imam Malik mendekat dan bertanya, ”mengapa engkau tidak keluar untuk melihat gajah?”. Yahya menjawab,”aku jauh-jauh datang dari Andalusia hanya untuk melihat anda  (menuntut ilmu), bukan untuk melihat gajah”. Keteguhan itu membuat Imam Malik berdecak kagum. Sejak peristiwa itu Imam Malik  menggelarinya ‘aqilu andalus’ (lelaki berakal dari Andalusia).

Sahabat…  Kisah Yahya bin Yahya bukan soal suka atau tidak suka melihat gajah, namun  ada pesan lain disana, yaitu tentang sikap yang harus diambil saat seorang penuntut ilmu mulai tergoda oleh hal-hal yang tidak seharusnya membuatnya berpaling sedikitpun dari cita-cita awalnya.

Dalam meraih asa, betapa sering langkah kita terhenti oleh hal-hal yang tidak terlalu penting. Kadang semangat untuk menjadi berarti itu kendor hingga titik nadir lantaran keteledoran yang mulanya sebatas iseng-iseng saja. Iseng-iseng main game, iseng ngetravel, atau mungkin terbawa mental taswif ‘nanti dulu’, sebentar dulu, hingga akhirnya semangat awal yang telah dipupuk ditanah air dulu perlahan mulai redup, ibarat pepatah layu sebelum berkembang. Bukan karena terik dan tandusnya Madinah, namun, tapi  karena tandusnya jiwa, rapuhnya azam karena  gagal menata niat atau motivasi awal sbelum ke kota Madinah ini.

Kawan… Kisah Yahya Al Yahya hanyalah satu dari sekian kisah penuntut ilmu yang pernah singgah di kota ini.  Kisah ini mengajak kita untuk selalu terjaga dan sepenuhnya sadar arti  kehadiran kita di negeri ini.

Yahya bin Yahya tidak hanya mengajari kita soal uluwul himmah, dia juga mengajari kita soal kesadaran diri agar terampil mengelola rasa dihadapan cita-cita supaya tidak keluar dari tujuan semula. Toh Imam Malik menghentikan pelajaran sejenak dan membiarkan murid-muridnya melihat gajah itu. Namun filosofi luhur dibalik pilihannya mencerminkan kecerdasan tentang bagaimana seorang muslim memahami godaan-godaan konsistensi yang membuat raga terhenti mengejar asa. Begitulah seharusnya kita menata jalan cita-cita selama di negeri ini. Ingat kawan kita tidak punya waktu yang lama. Ilmu lebih banyak dari waktu yang kita miliki.

Padahal…

العلم إذا إعطاك كلك لا يعطيك إلا بعضه

Ilmu itu, bila semua potensimu kau curahkan untuk meraihnya dia tidak akan memberimu melainkan setengahnya saja.

Nah Bagaimana kalau kita setengah-setengah…?

Sebagai penuntut ilmu syar'ie menata cita-cita adalah sebuah keharusan. Karena di jalan ilmu inilah hidup seorang tholib menjadi  berarti.

Aku datang untuk menuntut ilmu bukan untuk melihat gajah.
Andalus dan Madinah terlampau jauh untuk sekedar melihat gajah, seperti halnya Madinah dan Indonesia.

Ingat...
Waktu empat atau lima tahun terlalu sempit bila harus disesaki dengan hal-hal yang tak penting.

Semoga bermanfaat
___________________________________________________________________

 MADINAH BUKAN SEGALANYA

Selamat datang saya ucapkan kepada mahasiswa baru Universitas Islam Madinah……

Marhaban Bi thullabil Ilm.  Marhaban Biwashiyyi Rasulillah

Selamat datang dinegeri dua pintu,
Dua pintu yang sama-sama menawarkan kenikmatan, yang beda soal kekal atau tidaknya saja.

Iya, dua pintu itu adalah pintu ILMU dan REYAL..

Awas..! jangan sampai salah ketuk… Karena keduanya siap terbuka untuk anda kapan anda mau.

Ingat kawan….
Dolar dan reyal itu pasti habis, tapi tidak dengan ilmu.
Lagipula umat tidak rindu dengan kemewahan yang kau bawa pulang..
Yang mereka tunggu adalah untaian mutiara ilmu yang mampu mengobati dahaga mereka.

O ya, kawan.. disetiap sudut negri ini pernah ada jejak kaki Rasul dan sahabat,..
Namun jangan lupa kalau Abdullah bin Ubay bin Salul juga pernah menapakkan kakinya dinegri ini. Jadi jangan terbuai dulu. 


Tinggal di kota Nabi memang sebuah keutamaan, tapi bukan jaminan.

Negeri ini memang suci… Tapi tidak mensucikan, Seperti kata Salman Al-Faarisi -radhiallahu anhu-, "Tanah yang suci tidak dapat mensucikan seseorang"

Kawan….
Menjadi mahasisiwa UIM itu nikmat sekaligus ujian. Satu hal yang harus kita yakini, bahwa kehadiran kita dinegeri ini tidak akan mempengaruhi derajad kita disisi Allah. Ketakwaan dan kesungguhanlah yang membuat kita mulia dan bernilai..

Kemuliaan seorang alim ada pada amalnya.. Tak peduli apakah ilmunya diambil ditimur atau dibarat.

Madinah bukan segala-galanya kawan..
Dia buka barometer kesuksesan, dia hanya tempat yang pas untuk menjadi titik start, bukan sebagai jaminan cepat tidaknya menuju garis finis.

Saya banyak bertemu dengan lulusan pesantren di tanah air yang ilmunya bagi sebagian orang mungkin terlihat biasa-biasa saja, namun keberkahan ilmunya lebih terasa melebihi mereka yang pernah belajar ditimur dan barat… Karena ini murni soal keikhlasan dan ketaqwaan...

Kadang mereka yang tak bergelar itu sering dipojokkan dan tak dianggap, karena tidak memiliki gelar Lc, MA, DR,... Padahal apapun gelarnya bukan barometer keilmuan seseorang..

Boleh jadi gelar-gelar itu hanya akan membuat sebagian kita merasa rendah untuk mengajarkan IQRO' pada anak-anak seberang sungai…

Secara pribadi, saya lebih menghargai mereka yang tak bergelar namun bermanfaat untuk ummat.. Mereka yang tak merasa berat menyalami tangan-tangan kasar yang baru saja pulang dari ladang..
Mengajari mereka yang seharian dikebun dalam surau-surau kecil..

Selamat datang kawan…
Siapkan dirimu dengan tekad yang kuat serta niat yang ikhlas….

Sekali lagi... Madinah bukan segalanya…

Disini… diatas takdir-Nya kita menyusun sebagian besar cerita tentang kita, lalu menjalaninya dan kemudian menutupnya dengan segala jenis ending

Menjadi Lc +
Menjadi MA +
Menjadi DR +
Menjadi Miliyarder berjangka…
Atau menjadi si masah bodoh yang bersebunyi dibalik bayang-bayang nama besar UINIVERSITAS ISLAM MADINAH…
wal iyaadzu billah...

Selamat datang kawan…

Maaf bila gambaran ini membuatmu tak nyaman….

Ini juga sebagai nasehat untuk saya pribadi…

_______________________________________________

APA YANG KAU CARI DI MADINAH....????????"

Kawan….
Ini madinah yang tandus dan berdebu…
Bukan eropa yang hijau dan bersalju…
Ini kota Ilmu yang memerlukan mental kuat untuk bertahan dan bukan kota wisata yang hari-harinya bisa kau lalui sesuka hatimu ..

Ini Jami'ah Islamiyah dan Bukan oxford ..

Iya, ini Islamic University..

Disini kuliahmu gratis full…

Jadi… Pintar-pintarlah berterimah kasih…

Jangan lupa…. Bangku yang saat ini kau duduki dicita-citakan ribuan orang sejagad,
jadi jangan kau gunakan untuk tidur atau dibiarkan kosong dihari belajar…

Kawan….
Hidup dimadinah menyenangkan sekaligus melenakan...
Awas jangan sampai lengah…

Bila ragamu mulai terkulai, rasa malas menghampiri katakan pada diri

أنسيت أنك فى المدينة......؟؟؟؟؟؟


Kawan….

Kita semua tinggal diperantauan, kesulitan hidup  adalah sebuah keniscayaan..
Karena jalan menuntut ilmu tak selamanya mulus tanpa aral. Apalagi dikota ini kita tidak punya siapa-siapa selain Allah dan sahabat yang punya kesibukan masing-masing.
Namun siapa yang bersabar atas kerasnya kehidupan dikota ini ada jaminan syafaat baginya.
Berbanding terbalik dengan mereka yang mengotori kota ini ,  dia akan hancur dengan sendirinya seperti karat yang lebur oleh panasnya api. Atau garam yang dilarutkan air.

Rasuulullaah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَبَرَ عَلَى لَأْوَائِهَا وَشِدَّتِهَا كُنْتُ لَهُ شَهِيدًا أَوْ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي الْمَدِينَةَ

“Barang siapa yang bersabar atas kelaparan dan kerasnya HIDUP DI MADINAH maka aku akan menjadi saksi atasnya atau pemberi syafaat baginya pada hari kiamat.”

(HR. Muslim)

Kawan…

Ingatlah…
Kehadiran kita di kota ini tidak akan berarti apa-apa bila kita hari ini sama halnya dengan kita saat ditanah air dulu. Padahal orang-orang yang kita tinggalkan menaruh harapan yang besar pada kita. Dalam benak mereka, saat ini  kita sedang duduk di majelis ilmu, sibuk dengan berbagai aktivitas ilmiah. Tapi alangkah pahitnya bila kita tak seperti apa yang mereka kira. Lalu kitapun mengelus dada sebagai tanda puas karena pakaian dusta yang kita kenakan, apalagi kalau bukan pakaian "Thoolib Madinah".

Iyaadzan Billah..
Maaf bila catatan ini tak membuatmu nyaman, ini juga sebagai nasehat untuk kami pribadi yang sering lalai dan lupa.

__________________________________________________

NASEHAT ULAMA

Wasiat mendiang rektor Universitas Islam Madinah yang kedua Syaikh Abdul Aziz Bin Baz -rahimahullah-  kepada Mahasiwa UIM

الحمد لله وكفى وسلام على عباده الذين اصطفى

Amma ba'du:

Yang  hendak aku wasiatkan kepada anak-anakku Mahasiwa Universitas Islam Madinah adalah supaya mereka selalu bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam setiap kondisi. 
Hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, memberi perhatian terhadap semua mata kuliah yang ada, dan melakukan mudzakarah diantara sesama mereka pada masaalah-masaalah yang sulit dimengerti, memperhatikan penjelasan dosen dan menanyakan segala permasaalahan pelik yang didapati dalam proses belajar dengan cara yang baik.

Selanjutnya (perlu diketahui bahwa) diantara faktor utama yang membantu seseorang dalam mendapatkan ilmu adalah memperbaiki niat, menjaga waktu dan mengamalkan apa yang sudah diketahui. Dalam sebagian atsar disebutkan, "Barangsiapa yang mengamalkan apa yang ketahuinya, maka Allah akan memberinya ilmu tentang apa yang tidak diketahuinya". Makna ini juga terkandung dalam firman Allah:

 وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ

"Dan oraang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya" (Muhammad: 17)

Dan  firman-Nya:

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

"Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk" (Maryam : 76)

Dan juga diantara indikator penunjang (dalam meraih ilmu) adalah istiqomah diatas ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan menjauhi maksiat. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

 وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar,dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka" (Ath-Thalaq: 2)

Jalan keluar dari kebodohan merupakan jalan keluar utama yang harus kita cari.  seperti halnya rezeki yang paling utama adalah ilmu yang membuahkan taqwa. 

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا


“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu “furqaan”
Diantara tafsiran terbaik  terhadap "al-furqan" adalah apa yang diraih oleh seorang hamba berupa cahaya ilmu yang dengannya dia bisa membedakan antara yang hak dan yang batil.

Adapun pengaruh maksiat dalam menghalangi seseorang dari ilmu yang bermanfaat, maka hal ini telah diketahui berdasarkan nash yang ada. Allah subhanahu wa ta'la berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

"dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu". ( QS. As-Syura : 30 )

Tidak diragukan lagi bahwa terhalanginya seorang hamba dari ilmu yang bermanfaat merupakan musibah terbesar.

Di dalam hadits Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: "Seorang hamba dihalangi  rezekinya disebabkan dosa yang dilakukannya"

Ketika Imam Syafi'I duduk dihadapan Imam Malik –rahimahumallah- Malik berkata, "Aku melihat bahwa Allah telah memenuhi hatimu dengan cahaya ilmu, maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan gelapnya maksiat" atau seperti yang dikatakan Malik.
Imam Syafi'I berkata: “Aku pernah mengeluh kepada guruku Waki’ tentang buruknya hafalanku. Kemudian beliau memberitahuku untuk meninggalkan maksiat. Juga Mengabariku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya allah tidak akan diberikan kepada seorang yang melakukan maksiat.”

Aku memohon kepada Allah agar memberi kalian taufiq untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, melakukan amal shaleh. Dan aku memohon agar Dia menjadikan kalian bermanfaat untuk hamba-Nya, sesungguhnya Dialah sebaik-baik tempat meminta.

Wassalamu alaikum alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Rektor Universitas Islam Madinah
Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
18-10-1388 H
Majmu' Fatawa wa Maqaalat Al Mutnwwi'ah jilid: 6 hal: 439

Nasehat Mantan rektor ke empat UIM Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr –hafidzahullah-.
 
Beliau berkata:

"Di antara yang patut menjadi perhatian dan prioritas setiap penuntut ilmu adalah menghafalkan Al-Qur'an. Jangan sampai ia membiarkan hari-harinya berlalu tanpa bacaan Al-Qur'an. Bahkan dia harus mengkhususkan waktu untuk membacanya.
Diantara keistimewaan orang yang sudah mengkhatamkan Al-Qur'an adalah, dia bisa membacanya kapan dan dimana saja, baik disaat ia duduk, berdiri, berjalan bahkan saat rebahan sekalipun. Inilah hal yang membedakan antara dirinya dan orang yang belum menghafal Al-Qur'an.
Mengapa Al-Qur'an yang menjadi prioritas..? Dikarenakan Al Qur'an merupakan kalam Allah.

Kemudian saya nasehatkan kepada kalian semua bahwa " Diantara nikmat lain yang harus disyukuri setelah Allah mengaruniakan taufiq kepada kalian untuk menuntut ilmu adalah karunia terkumpulnya dua keutamaan sekaligus. Yaitu keutamaan menuntut ilmu  dan keutamaan tempat dimana kalian menuntut ilmu. Karena menuntut ilmu di dua tanah suci Makkah dan Madinah berbeda  bila dibandingkan menuntut ilmu di tempat lain. Sebab di dua tempat inilah mata air risalah bermula."

(Disampaikan pada kuliah perdana Mata Kuliah Sunan An-Nasaa'i. Ahad, 22-3-1434 H)

Semoga bermanfaat.


--------------------------------
Madinah,
Rabu, 23-06-1435 H bertepatan dengan 23-04-2014 M

Akhukum fillah:  Aan Chandra Thalib

0 Kommentare:

Kommentar veröffentlichen